Rejam
SECARA berseloroh seorang teman mengatakan, “kok, ada ya orang yang masih punya perhatian terhadap masalah rajam, padahal masalah ini luput dari perhatian orang hari ini.” Kalimat tersebut muncul ketika menyaksikan suasana sidang tesis M. Arqom Pamulutan (MAP) di Pascasarjana IAIN Ar Raniry, Kamis, 30 Desember 2010 lalu.
Dalam ringkasan tesisnya, saya melihat ada cita-cita luhur MAP yang selama ini terpendam, yaitu ingin sekali mejadikan Aceh sebagai daerah yang konsisten menjalankan syariat Islam, termasuk memberlakukan dan menjalan hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan (yang sudah pernah menikah) sesuai petunjuk dan ajaran Rasulullah saw. Yang menurut MAP, mereka ini (penzina) adalah orang-orang yang telah berbuat keji dan dianggap telah membunuh dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga layak untuk dihukum rajam.
Cita-cita luhur itu terbentur berbagai persoalan. Karena meskipun pada tahun 2009 DPRA telah mengesahkan materi rajam masuk dalam qanun jinayat dan qanun hukum acara jinayat, namun qanun itu hingga hari ini tidak jelas statusnya akibat penolakan Gubernur Aceh.
Bahkan tidak dijadikan prioritas untuk diagendakan dalam program legislasii Aceh 2010. Ini paling tidak tergambar dalam uraian pendahuluan pada ringkasan tesis tersebut, yang menyatakan bahwa secara akademis inti persoalannya paling tidak karena dua hal: pertama, kurang jelasnya aturan tentang rajam dalam dua qanun tersebut yang menyebutkan kata “rajam/hukuman mati” yang bermakna bahwa rajam sama saja dengan hukuman mati atau rajam dapat dilaksanakan seperti melaksanakan hukuman mati, dan persoalan kedua, karena hukuman rajam selalu distigmakan sebagian orang sebagai hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan melanggar HAM.
Dalam tesisnya tersebut, MAP menemukan bahwa rumusan poin rajam pada dua qanun tersebut, baik tentang substansi rajam (dalam qanun jinayat), maupun tata cara rajam (dalam qanun hukum acara jinayat) memang tidak jelas alias kabur. Sehingga MAP berinisiatif untuk membuat penjelasannya dengan menyatakan bahwa hukuman rajam tidak sama dengan hukuman mati sehingga kata hukuman mati dalam “uqubat rajam/hukuman mati” harus dibuang dari materi qanun dan kata uqubat rajam harus diperjelas apa maksudnya serta bagaimana caranya.
Menurut MAP, ‘uqubat (hukuman) rajam adalah hukuman dalam ajaran Islam yang khusus diperuntukkan bagi pelaku zina yang muhsan dengan cara melempari terhukum dengan batu hingga mati. Hukuman rajam tidak dapat dijatuhkan sebelum memenuhi persyaratan pembuktian yang ketat, yaitu pengakuan pelaku yang secara jelas menerangkan masuknya--maaf--penis ke dalam vagina antara dua orang yang tidak diikat penikahan yang sah, dan keterangan empat orang saksi yang baligh, berakal atau waras, beragama Islam, bersifat adil (tidak fasiq), melihat langsung dengan mata mereka peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina, bersaksi dengan bahasa yang jelas dan vulgar (bukan dengan bahasa kiasan), melihat peristiwa zina itu secara bersama dalam satu majelis dan dalam satu waktu. Berbeda dengan hukuman mati yang merupakan Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan tertentu dengan menggunakan cara yang beragam--termasuk di antaranya dengan cara rajam--dengan tujuan membunuh terhukum. Hukuman mati dapat dijatuhkan berdasarkan pembuktian yang sama seperti delik lainnnya yang diatur dalam hukum acara pidana, yaitu didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah di antara (1) keterangan saksi; (2) keterangan ahli; (3) surat; (4) petunjuk; (5) keterangan terdakwa.
Sedangkan mengenai tata cara hukuman rajam, MAP menyimpulan, ketentuan tentang tata cara rajam harus diatur secara jelas dalam qanun hukum acara jinayat dengan mengusulkan tatacara rajam sebagai berikut: rajam dilaksanakan oleh tim eksekutor yang ditunjuk oleh jaksa dengan ketentuan: Pertama, tim eksekutor, ‘uqubat rajam dilaksanakan oleh jaksa dengan menunjuk tim eksekutor yang berasal dari: (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Brigade Mobile) yang ada di Aceh, yang terdiri dari tiga orang Bintara, 27 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira, atau, (1) Anggota Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah yang berkedudukan di wilayah hukum pengadilan yang menjatuhkan vonis rajam, terdiri dari 30 orang anggota Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah di bawah pimpinan seorang Komandan Pleton, atau, (3) Jika dipandang perlu jaksa dapat menunjuk 10 (sepuluh) orang dari masyarakat yang menyaksikan untuk ikut melaksanakan ‘uqubat rajam.
Kedua, Alat Eksekusi, ‘uqubat rajam dilaksanakan dengan menggunakan batu dalam ukuran sedang yang dilemparkan ke tubuh terhukum hingga terhukum meninggal dunia; Ketiga, tempat eksekusi, ‘uqubat rajam dilaksanakan di tempat terbuka yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum; Keempat, cara eksekusi, eksekusi ‘uqubat rajam dilaksanakan dengan cara: (1) Apabila terhukum dalam keadaan hamil, maka pelaksanaan ‘uqubat rajam baru dapat dilaksanakan setelah lewat waktu 2 (dua) tahun setelah anaknya dilahirkan dan adanya jaminan pemeliharaan bagi anak tersebut; (2) Terhukum diletakkan di hadapan tim eksekutor dengan memakai pakaian menutup aurat yang disediakan oleh jaksa, dalam keadaan boleh memilih antara ditutup matanya dengan sehelai kain ataupun tidak, dalam keadaan boleh memilih antara berdiri, duduk atau berlutut, dan jika dipandang perlu oleh Jaksa yang bertanggungjawab ia diikat tangan serta kakinya, diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu atau ditanam setengah badannya di dalam tanah.
(3) Terhukum dilempari dengan batu oleh tim eksekutor dari jarak yang tidak boleh melebihi 5 meter dan tidak boleh kurang dari 3 meter sampai meninggal dunia, (4) Jika setelah dilempari dengan batu oleh tim eksekutor, terhukum belum mati, terhukum ditembak pada kepalanya tepat di atas telinganya; Kelima, keadaan terhukum setelah eksekusi, setelah terhukum dinyatakan meninggal dunia oleh dokter, jenazah terhukum diserahkan kepada pihak keluarga untuk diperlakukan sebagaimana layaknya jenazah orang muslim lainnya yang biaya pelaksanaannya ditanggung negara melalui anggaran Dinas Sosial atau Baitul Mal setempat; Keenam, jaminan bagi keluarga terhukum. Apabila terhukum meninggalkan keluarga yang berada di bawah tanggungannya, maka negara melalui anggaran Dinas Sosial atau Baitul Mal setempat menanggung biaya atas keluarganya tersebut.
Temuan ketiga MAP dalam tesisnya menjelaskan, ‘uqubat rajam yang dilaksanakan setelah memenuhi syarat yang ditentukan tidak jauh berbeda dengan hukuman mati yang diberlakukan untuk kejahatan-kejahatan tertentu. Jika dilihat lebih dalam terhadap manfaat yang didapat oleh terhukum rajam berupa pembersihan diri dari dosa zina dan ampunan Allah baginya, serta melihat kepada ancaman bahaya yang timbul akibat kejahatan zina bagi nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat hingga bagi pelakunya harus dijatuh hukuman terberat agar orang lain takut melakukan perbuatan serupa, maka ‘uqubat rajam layak dijatuhkan dan tidak bertentangan dengan HAM. Bahkan, ‘uqubat rajam tidak hanya sekadar “tidak bertentangan” dengan HAM melainkan membela dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM untuk kemaslahatan manusia dan masyarakat.
Sebagai orang Aceh yang mengenal watak dan komitmen MAP terhadap implementasi syariat Islam di Aceh, saya merasa karya ini patut diapresiasi dan diketahui masyarakat, sebagai upaya mengurai “kebuntuan” yang selama ini menyelimuti kita di Aceh terkait kontroversi rajam dalam qanun jinayat dan qanun hukum acara jinayat.
* Penulis adalah Hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho. Alumni Magister Hukum Unsyiah.
http://www.serambinews.com/news/view/47592/rajam
Ulasan
Catat Ulasan
This Post Mybe Have Same Copy From OtherSite.
Other Link or Backlink we removed by Robotsystem