Dukun Main lagi
MEMBACA berita Serambi edisi Jumat, 31 Desember 2010, tentang “Dana Operasinal Dihapuskan, RSUYA Tapaktuan Terancam Sekarat,” hati saya tergelitik. Pemotongan dana operasional itu disebutkan berdampak buruk secara langsung kepada masyarakat yang merindukan layanan kesehatan berkualitas. Bukan hanya itu, kondisi ini diperparah dengan tidak tertampungnya anggaran makan pasien, anggaran pengadaan obat-obatan, anggaran oksigen, minyak genset, ATK, dan anggaran pemeliharaan limbah. Suatu hal yang memilukan terkait kebijakan daerah Aceh Selatan yang rela mengorbankan layanan publik berkualitas demi kepentingan politis. Kemarin (03/01/2010) tersiar kabar pula, dokter spesialis dalam lingkungan Aceh Selatan mogok kerja. Hal itu sebagai respons terhadap kebijakan Qanun APBK kabupaten penghasil pala tersebut.
Hal ini mempertegas karut-marutnya kepemimpinan Aceh Selatan saat sekarang. Tentu saja, persoalan kesehatan publik ini tidak dapat dibenarkan dengan cara-cara apa pun karena bertentangan dengan Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI) dan sumpah medis. Intinya, hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan langsung apalagi menyangkut nyawa semestinya tidak bisa dianggap remeh hanya demi menyelamatkan kepentingan politik individu atau golongan. Dipastikan hampir semua kampanye pemerintah eksekutif dan legislatif mengedepankan pendidikan dan kesehatan gratis yang berkualitas, tetapi kampanye tersebut kembali dipertontonkan sebagai jargon politik belaka dengan bersembunyi di balik “APBK kita sangat kecil”. Di sisi lain, pengadaan fasilitas pejabat menjadi skala prioritas. Melihat pengalaman tahun 2010, pembelian 1 unit mobil Mitsubishi Fajero untuk Ketua dewan senilai Rp480 juta dan Toyota Kijang Innova seri G untuk masing-masing wakil pimpinan dewan dengan harga Rp280 juta. Selain itu, ditambah lagi dengan dana sewa mobil dinas baru kepada 8 orang untuk Ketua Fraksi dan Komisi yang berkisar antara Rp5-6 juta/bulannya. Melihat kebijakan Pemkab Aceh Selatan ini, kesannya mereka lupa bahwa mereka manjadi penguasa atas nama rakyat.
Saat ini, terlihat Pemerintahan Aceh Selatan hendak memperlihatkan kekuasaannya yang tak berwibawa bahkan tidak manusiawi. Jika tidak punya alasan yang kuat, kenapa harus mengambil sikap untuk memperkecil anggaran untuk kesehatan. Kebijakan tersebut seolah-olah ingin menukarkan nyawa manusia dengan uang yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Amandemen UUD 45 juga telah mengamanatkan mengenai hak warga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, khususnya pasal 28 dan 34. Sikap tersebut terlihat dengan kebijakan menurunkannya biaya operasional RSU, turunnya dana operasional akan berdampak secara langsung minimnya pelayanan kesehatan yang selama ini mulai ditingkatkan oleh pemerintah provinsi Aceh melalui program JKA. Kita sadar, kondisi ekonomi masyarakat yang semakin terpuruk mengharuskan untuk penerapan layanan kesehatan yang berkualitas.
Layanan tersebut hanya bisa terlaksana dengan baik jika ada kemauan politik (political will) dari pemerintah. Jika Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan punya hati dengan tidak menggadaikan nyawa rakyatnya, mereka harus memprioritaskan sektor ini dalam pengalokasian anggaran. Seharusnya, Pemkab Aceh Selatan belajar dari daerah-daerah lain yang mau mempertaruhkan reportasinya untuk meningkatan layanan kesehatan. Salah satunya bisa kita belajar dari keberhasilan Amerika Serikat dalam menjamin kesehatan masyarakatnya. Sangat pentingya sektor kesehatan, Presiden AS Barack Obama berani mempertaruhkan reputasinya melalui voting untuk menggolkan program reformasi sektor kesehatan. Obama bahkan rela menunda kunjungan kenegaraannya ke beberapa negara, termasuk Indonesia, untuk berkonsentrasi menggolkan program reformasi sektor kesehatan tersebut.
Bukankah kesehatan menjadi modal dasar untuk masyarakat bisa bekerja. Jika layanan kesehatan buruk, maka akan berdampak kepada tingkat produktivitas kerja masyarakat. Pengalokasian minim terhadap sektor kesehatan mengesankan pemerintah sengaja membuat skenario membunuh warganya secara sitematis. Pengambil kebijakan seharusnya berpikir, bagaimana nasib rakyatnya jika sejumlah puskesmas terancam tutup karena aliran listrik ke pusat kesehatan itu diputuskan karena tak sanggup bayar rekening. Kemudian, bagaimana nasib masyarakat yang berada di daerah terpencil akan semakin jauh akses kesehatan akibat pemutusan kontrak tenaga kesehatan. Apakah mereka lupa kalau rakyat yang memilih mereka sehingga mereka bisa menikmati fasilitas negara? Bukankan daerah terpencil seperti Bulohseuma, Alue Kejruen, Siurai-urai, Koto Indarung, Teupin, Pucuk Lembang, Titi Pobem, juga termasuk wilayah Aceh Selatan?
Gubernur Aceh diharapkan segera menyikapi hal yang sedang melanda Aceh Selatan karena “lawak”-nya pemimpin di sana. Setiap Raqan (APBK) menghendaki pengesahan dari pemerintah atasan, dalam hal ini Gubernur Aceh selaku perwakilan pemerintah pusat harus mengedepankan prinsip keadilan untuk rakyat. Karena itu, tentunya rakyat Aceh Selatan sangat mengharapkan Gubernur Aceh untuk tidak mengeluarkan rekomendasi terkait kebijakan ini. Kalau perlu, gubernur memberikan teguran keras terhadap dewan, bupati, kabupaten ketelatan itu.
Kembali ke dukun
Jika Gubernur pun tidak peduli terhadap kebijakan ngawur legislatif dan eksekutif Aceh Selatan, yakinlah masyarakat di sana akan kembali ke dukun. Gaya pengobatan tradisional ala mistik akan kembali subur di tanah penghasil pala itu. Barangkali memang ini yang diinginkan oleh para pengambil kebijakan di sana? Tentu saja, kedua pilihan ini--ke dukun atau ke RS--bagaikan buah simalakama. Satu sisi, berdukun dengan ramuan tradisional adalah hal yang baik, tetapi tidak semua penyakit bisa ditangani dengan mantra. Ada kalanya penyakit tertentu memang membutuhkan sentuhan medis. Namun, kondisi kebijakan terhadap dunia medis telah memaksa masyarakat secara tidak langsung membuka praktik perdukunan..........
Jika masyarakat harus kembali ke dukun dengan meu-ubat gampong, penting mengkonsolidasikan kembali lembaga yang telah lazim dalam pembicaran tataran pemuda dan mahasiswa Aceh Selatan. Lembaga itu adalah Persatuan Dukun Aceh Selatan (PEDAS). Bilamana pemerintah di sana tidak mampu mengkondusifkan pelayanan medis, ada baiknya lembaga PEDAS ini dideklarasikan secara resmi. Ya sudah jika demikian. Legislatif dan eksekutif Aceh Selatan langsung saja memfasilitasi Kongres I PEDAS. Tentunya pasien pertama para pengambil kebijakan tersebut atau orang-orang terdekat yang menjadi pembisik selama ini sehingga raqan pemotongan anggaran kesehatan itu dilakukan oleh para pemimpin Aceh Selatan. Semoga bupati dan wabup jadi penasihat PEDAS yang baik dan anggota dewannya menjadi Pembina PEDAS yang elegan. Lalu rakyat, selamat kembali ke dunia dukun, dunianya para mistisme...........
Ulasan
Catat Ulasan
This Post Mybe Have Same Copy From OtherSite.
Other Link or Backlink we removed by Robotsystem