Perayaan Tahun Baru
APA makna tahun baru bagi kita, tatkala memasuki 2011? Tahun lalu, seorang seorang teman yang kebetulan berprofesi sebagai artis dan MC di Jakarta mengatakan bahwa dia baru saja panen, dan mengajak saya makan-makan di kawasan Kemang. Teman lain yang tinggal di sebuah kawasan di gang sempit menyebutkan, dia sedang dalam dilematis dengan dua pilihan: menyediakan uang dua juta rupiah atau keluar bersama keluarga dari rumah kontrakan. Ada pula ketakutan, dengan memasuki tahun 2011 semakin dekat ke tanggal 12 Desember 2012. Kiamat! Ya, seperti diramalkan bangsa Maya sesuai kalender mereka. Menurut riwayat, tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma. Waktu itu di negara tersebut penanggalan yang dipakai ialah penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Kemudian Caesar memutuskan menggantikannya dengan tahun Masehi, yang diambil tahun lahirnya Nabi Isa Al Masih.
Kalender itu pun dibuat sedemikian rupa-seperti yang kita kenal sekarang. Dia dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, Mesir. Pedoman penanggalan baru itu disusun dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini, sengga secara periodik bulan Februari memiliki 29 hari, bukan 28 hari. Dalam penyusunannya terjadi beberapa perubahan, terutama menyangkut nama bulan, sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Perubahan tersebut misalnya, menjelang Caesar terbunuh di tahun 44 M, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus. Tradisi menyambut tahun baru kini telah menembus sampai ke desa-desa akibat peran yang dimainkan media massa terutama televisi. Tahun lalu, suara terompet melintas batas-batas demografis dan sosiologis. Cahaya bunga api menyinari pematang sawah dan tebat ikan. Suara mercon tidak hanya di seputar jalan-jalan Ibu Kota dan kota besar, tetapi sampai Bukit Kemukus di Sragen atau Sarahraja di lereng Bukit Barisan.
Tapi sesungguhnya pergantian tahun-seperti pergantian 1010 ke 2011- tidak sekadar bunyi mercon dan warna warni kembang api yang menghiasi ruang malam kota-kota metroplitan. Atau lantunan musik di hotel-totel berbintang dengan penyanyi yang sedang mendulang duit. Bukan pula sekadar prosesi renungan yang dilaksanakan oleh sebuah komunitas atau organisasi kader. Bukan pula refleksi untuk mengukur maju mundurnya bangsa. Bukan sekadar menyebutkan bahwa kita bisa mengalahkan Malaysia dengan angka 2-1 di pertarungan akhir, karena sebenarnya kita kalah dan tak berhasil mengondol piala. Malaysia--tempat jutaan saudara kita menjadi kuli--memang berhasil jadi karena melantak kita di Bukit Jalil dengan angka telak 3-0.
Tahun baru bukan cuma pergantian kalender. Tahun baru adalah kecerahan, kemuraman, kekhawatiran, harapan, dan juga keceriaan. Tapi setiap pergantian tahun selalu saja ada cerita. Paling tidak ada refleksi yang dikonstruksikan-tepatnya diungkapkan-secara perorangan tentang dirinya: karir, usia, atau juga keberadaannya sebagai bagian dari alam, dan juga makhluk sosial dalam konteks hablu minannas. Refleksi menjadi penting sebagai cermin diri, dengan konklusi bahwa setiap tahun berganti, itu bukan bermakna umur bertambah, tetapi justru berkurang. Di kota-kota kaum borjuas berpesta pora dengan berbagai cara. Burkumpul di rumah bersama keluarga, berkerumun di alam terbuka, atau malah melakukan ritual di hotel dan mal-mal. Tradisi menyambut tahun baru atau pergantian tahun atawa apa yang dinamakan dengan “Old and New” seolah menjadi bagian dari budaya dunia. Kaum moralis dan agamawan mengkritik penyambutan tahun Masehi karena kebarat-baratan, dan bukan “adat istiadat” kita, sebab Islam punya tahun Hijriah.
Segelintir mencoba melarangnya. Tapi seperti yang terjadi sejak dua tahun lalu, di sana muncul perlawanan dari publik muda usia. Mereka tumplek di Blangpadang Banda Aceh pada malam tahun baru 2010, karena lokasi lama di pusat kota “diharamkan”. Perlawanan tersebut bukti adanya perubahan nilai-nilai dan reintepretasi dalam masyarakat dengan latar universalisme dan pluarisme. Kehidupan tidak bisa dibatasi dengan dogma-dogma lama, tanpa ada argumen dan logika sehat. Imbauan bahwa kita hanya memperingati tahun baru hijriah-1 Muharram-sebagai tahun penanggalan Islam yang dihitung dari perpindahan (hijrah) Muhammad dari Mekkah ke Madinah, memang sebuah peristiwa sejarah sekaligus peristiwa religi. Ketika kita bicara dalam konteks Islam dengan segala ritualismenya kita pun memperingati 1 Muharram dalam tradisi masing-masing.
Di dunia ini berbagai perayaan tahun baru berlangsung. Orang Yahudi memiliki tradisi Rosh Hasanah yang jatuh sebelum tanggal 5 September pada kalender Gregorian. Tahun baru Tiongkok atau Imlek jatuh malam bulan baru pada musim dingin, antara akhir Januari hingga awal Februari, kemudian tahun baru Thailand dirayakan mulai tanggal 13 April hingga 15 April dengan upacara penyiraman air. Di kalangan rakyat Vietnam ada yang disebut dengan Tet Nguyên Dán, yang dirayakan pada hari yang sama dengan Imlek masyarakat Cina. Bagi orang Islam perayaan tahun baru 1 Muharram bukan hanya sarat dengan makna hijrah dan berbagai tafsir filosofisnya. Tetapi juga penuh muatan lokal. Nilai-nilai Islam dibaurkann dengan tradisi setempat tanpa membentur unsur-unsur ketauhidan. Sudah lama perayaan tersebut berlangsung di basis Islam seperti Aceh. Ada yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat di kampung-kampung diisi ceramah atau tablik akbar dengan aksesoris lokalnya.
Dari atas mimbar sang dai menguraikan secara kronologis perjalanan Muhammad dan kawan-kawannya dari Mekkah di malam yang gelap untuk menghindari penentangnya-yang sama-sama orang Quraisy. Lalu hijrah juga diberi simbol sebagai perpindahan dari suatu keadaan buruk kepada yang baik. Jika banyak juga orang Islam merayakan 1 Januari, mungkin untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip bahwa Islam sesuai dengan semua zaman. Lantaran kita hidup-hidup di tengah-tengah budaya global yang secara ekonomi, sosial, dan politik tak bisa dipisahkan dari penanggalan umum. Menurut mereka menggunakan hitungan Masehi dalam kepentingan kehidupan masih relevan, maka masih patut dirayakan dalam batas-batas tertentu.
Baru bisa mengabaikan tahun Masehi dan perayaannya, jika kita sudah tidak terikat dengan dunia luar; titak menggunakan bank dengan jadwal dan sistem kerja penanggalan Masehi. Tapi Islam sebagai agama yang rahmatal lil alamin, tetap menghormati nilai-nilai universal dan pluralistik tanpa mengorbankan nilai-nilai hakiki ketauhidan. Ramalan suku Maya yang menggunakan kalender Masehi menyebutkan tahun 2012 dunia ini bakal kiamat. Kita tak perlu cemas, karena itu hanya ramalan. Allah Mahatahu akan segalanya. Besok 1 Januari 2011 Masehi. Kita jangan menghindar dari realitas sejarah dan kehidupan.
Kata-kata Masehi berasal dari nama Isa Al Masih, nabi yang diakui oleh Islam. Syukur Alhamdulillah, nama tahun ini bukan nama Isa yang diyakini orang Kristen yaitu Yesus Kristus. Selamat tahun baru Masehi, sebuah tonggak kelahiran Isa Alaihissalam, keturunan Nabi Ibrahim Alaihissalam, nabi yang diimani umat Islam. Jadikan dia untuk bercermin diri. Setiap tahun berganti, umur kita semakin berkurang, bukan bertambah!
Ulasan
Catat Ulasan
This Post Mybe Have Same Copy From OtherSite.
Other Link or Backlink we removed by Robotsystem