Jangan Berhenti Korupsi
TANPA banyak gembar-gembor, sebuah inisiatif penting sebagai bagian dari kampanye antikorupsi akhirnya terwujudkan di Kantor GeRAK Aceh pada Selasa 21 Desember lalu. Hari itu, Sekda Aceh T Setia Budi, berkenan meresmikan apa yang disebut dengan sekolah ACIC---Anti Corruption and Investigation Course (Sekolah Investagasi Korupsi dan Antikorupsi). Sebanyak 19 mahasiswa terdaftar sebagai Angkatan I dan harus “rela” membayar SPP sebanyak Rp150,000 per orang, untuk perkuliahan sebanyak 14 kali tatap muka.
Saya merasa amat dihormati karena diminta memberi kuliah umum atau kuliah perdana kepada para mahasiswa, yang turut didengar oleh beberapa undangan lainnya. Ikut memberi kuliah adalah Fuad Mardhatillah dari IAIN Ar-Raniry, yang dulu pernah menjadi Deputi Bidang Sosial dan Agama BRR NAD-Nias.
Hal yang terlihat terang benderang adalah bahwa mahasiswa dan yang bukan mahasiswa merasa tak yakin korupsi dapat diberantas. Menurut mereka, praktik korupsi itu sudah sangat akut, ibarat kanker stadium IV, sehingga mustahil untuk dilakukan pemulihan meskipun sudah menjalani kematorapi berkali-kali.
Cerita Mahasiswa
Sel-sel ganas itu juga menggeroti tubuh dokter yang akan menyembuhkan pasien itu. Seorang mahasiswa ACIC, membagi perasaan tidak nyaman yang dia rasakan ketika ingin ikut serta dalam kampanye antikorupsi. “Saya dan beberapa kawan, kenyataannya, dikucilkan sehubungan dengan aktivitas yang kami lakukan. Saya heran mengapa hal itu terjadi, apalagi di perguruan tinggi,” katanya.
Seorang peserta lain, teman dekat saya yang pada sebuah lembaga PBB, menceritakan bagaimana pada tahun 2003 saat mencari kerja, seseorang menjanjikan kepadanya akan lulus jika membayar Rp2 juta. “Itu sudah sangat kurang dibanding yang lain yang membayar Rp 7 juta,” tutur peserta ini mengutip orang yang minta sogokan dari dirinya. Dia kemudian mengurungkan niatnya untuk melamar kerja di kantor itu, dan beberapa waktu kemudian lulus di PT Arun, yang gajinya bahkan sepuluh kali lipat dibanding jika dia diterima di tempat pertama. “Saya lulus murni, tanpa sogokan,” terang dia.
Awal Desember lalu dia membeli sepetak tanah dari seseorang yang memerlukan uang kontan secara cepat, sehingga harga tanah agak sedikit di bawah harga pasar. Setelah transaksi selesai, beberapa hari kemudian, secara iseng dia bertanya kepada penjual untuk apa uang tersebut.
“Saya ingin mengurus anak saya agar lulus tes (dia kemudian menyebut nama sebuah institusi penegak hukum) kira-kira sebesar Rp 70 juta,” jawab penjual. Seketika teman saya itu merasa bersalah karena seperti telah membantu berlangsungnya sebuah perbuatan korup. “Pertanyaan saya, adakah benang merah antara situasi yang saya hadapi pada 2003 itu dengan situasi 2010 ini? Saat di bidang lain kita mengalami banyak perubahan, mengapa kok kelihatannya tak berubah sama sekali?” tanya sahabat saya itu.
Di gampong juga ada korupsi. Seorang mahasiswi sekolah ACIC berkisah, “Proyek-proyek parit di gampong itu penuh dengan korupsi. Parit dibuat asal jadi, semen kualitas rendah, adukan pasir sekenanya saja, sehingga daya tahan parit itu hanya sebulan dua saja, setelah itu hancur,” kata mahasiswi tadi. Hal yang paling menyedihkan, kata dia, masyarakat sendiri tak tahu ada manipulasi dalam proyek itu, dan yang merasa tahu ada gelagat korupsi juga tak tahu harus melapor kemana. Katanya, pengawasan publik terhadap proyek-proyek di kampung dapat dikatakan hampir tak ada sama sekali. “Mungkin karena mereka berpikir, korupsi hanya di tingkat atas, sedangkan di gampong-gampong tak mungkin ada korupsi,” katanya.
Respons terhadap Penanya
Apa yang dapat saya katakan kepada mereka? Pertama, cerita tentang pengucilan tadi sesungguhnya bukan hal baru, namun tentu patut kita prihatin bahwa hal itu juga terus berlangsung. Sudah sering kita dengar seorang pimpinan memindahkan pegawainya ke bagian lain karena pegawai itu terlalu “cerewet bersih” Itu sebabnya saya mengatakan bahwa mahasiswa itu bahwa mereka, dan orang-orang yang bergerak dalam bidang antikorupsi, harus memiliki dayan tahan atas sikap eksternal kepada mereka. Mereka harus mampu menghadapi cibiran dan caci maki serta cemoohan seperti diteriaki maling teriak maling atau sok menjadi nabi, bahkan sampai kepada gangguan terhadap keamanan pribadi.
Untuk tingkat nasional, sudah banyak contoh untuk hal ini, misalnya terror, ancaman pembunuhan, penghadangan di jalan, atau dikriminalisasi dalam bentuk pencemaran nama baik. Sejumlah wartawan bahkan menemui ajal setelah memberitakan kasus-kasus korupsi tertentu.
Kedua, soal benang merah yang disebut oleh sahabat tadi, saya bingung harus menjawab seperti apa. Agaknya, aturan hukum tak memberi dampak jera kepada orang-orang, sehingga tetap tak takut untuk korupsi. Saya mengatakan bahwa keberadaan banyak aturan hukum ternyata “tak nendang”. Hukum di kiri, korupsi di kanan. Tetapi hukum hanya benda mati, manusia-lah yang membuatnya “hidup”. Sayangnya, kita memiliki masalah berat dalam bidang sumberdaya manusia ini.
Melawan korupsi, yang disebut sudah membudaya, memang tak mungkin mengharapkan hasil “sekali jadi”. Itu sebabnya mengapa pembangunan tak boleh melulu dilihat sebagai pekerjaan meningkatkan pendapatan dan mengurangi jumlah orang miskin, melainkan juga harus dilihat dengan memakai perspektif ilmu sosial: pembangunan sesungguhnya membangun mental manusia. Karena cara pandang demikian dilupakan, maka saat income per capita bertambah, dan orang miskin berkurang, korupsi ternyata tetap terus merajalela.
Fuad Mardhatillah, saat merespons peserta, membuat saya juga tertegun. “Sebaiknya korupsi jangan berhenti dulu!” kata Fuad, yang membuat mahasiswa dan undangan tertawa. Fuad memang sedang berguyon, dengan nada “nyelikit” atau menyindir. Katanya, pembangunan berjalan karena ada korupsi, atau mungkin yang dia maksudkan adalah bahwa orang-orang mau membangun karena melalui itu orang-orang dapat melakukan korupsi. Nah, jika korupsi berhenti, maka berhenti pula pembangunan.
“Jadi, janganlah berhenti korupsi!” kata Fuad. Saya yakin para pembaca merasakan betapa absurd atau menggelikan apa yang dikatakan Fuad, namun “sayangnya” kita seperti mudah sekali menemukan gejala yang disebut Fuad itu dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan para mahasiswa ACIC menjadi orang yang sedikit, yang nantinya mampu berkontribusi bagi pemberantasan korupsi di Aceh, sebagaimana yang tersirat dalam kalimat sindiran Fuad. Memang, perjalanan 1000 mil dimulai dari langkah pertama, kata Lao Tzu dari Cina.
Ulasan
Catat Ulasan
This Post Mybe Have Same Copy From OtherSite.
Other Link or Backlink we removed by Robotsystem