Keunikan dan Pesona Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Wajib Dikunjungi

Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Kaya Akan Warisan Budaya dan Alam Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia, dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah." Provinsi ini bukan hanya kaya akan sejarah Islam, tetapi juga menawarkan keindahan alam yang memukau dan tradisi budaya yang kuat. Aceh adalah destinasi yang sempurna untuk kamu yang mencari pengalaman wisata yang unik sekaligus mempelajari sejarah panjang Indonesia. 1. Sejarah dan Peran Islam di Aceh Aceh memiliki sejarah panjang sebagai pintu masuk Islam di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai di Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Karena itulah Aceh dijuluki Serambi Mekah, sebagai simbol peran pentingnya dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Hingga saat ini, adat istiadat dan hukum syariah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh menjadi ikon utama yang sering dikunjungi wisatawan. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempa...

Menerapkan syariat Islam Di Aceh sama saja dengan membuang garam ke laut. Itu hanya keinginan Jakarta saja.

MENEMUI Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Pase Sofyan Daud ternyata tak semudah yang dibayangkan orang. Berbagai pernyataannya memang mudah dibaca nyaris setiap hari di pelbagai media. Setiap kali krisis Aceh menghangat, wajahnya yang berkumis tipis dengan pandangan mata setajam elang itu pun rajin menghiasi media cetak dan elektronik.

Sengaja membuka akses komunikasi dengan pers. Dengan telepon seluler, telepon satelit dan surat elektronik, Sofyan memberikan berbagai pernyataan soal posisi GAM, insiden bentrok dengan TNI dan berbagai kasus yang memerlukan komentarnya.

Meski sulit, Sofyan sangat terbuka menerima setiap jurnalis yang ingin mewawancarainya. Prosedurnya memang berliku. Begitu janji wawancara disepakati, waktu dan lokasi pertemuan ditentukan belakangan. Hanya beberapa saat setelah hari yang disepakati tiba, salah seorang ajudannya akan menghubungi dan memberi tahu titik lokasi pertemuan.

Ketika TEMPO News Room tiba di titik lokasi pertemuan di sebuah desa di kawasan perbukitan Aceh Utara, Senin (14/4) silam, dua anggota GAM sudah menunggu di sana. Satu orang yang bercelana loreng militer memandu mobil kami dengan bersepeda motor dan seorang lagi ikut naik ke dalam mobil TEMPO News Room. Setelah setengah jam perjalanan di daerah perbukitan yang berliku, barulah kami sampai di sebuah desa kecil yang ramai di ujung kawasan perkebunan kelapa sawit yang tampaknya sudah lama tak terurus.

Di sebuah kedai kopi, Sofyan Dawood sudah menunggu kami. Ia langsung tersenyum lebar sambil menjabat tangan Wahyu Dhyatmika dan Zainal Bakri dari TEMPO News Room, “Apa kabar?” sapanya hangat. Ia berkaos putih dengan celana loreng tentara. Sebuah pistol magnum putih tersampir di pinggangnya. Perawakannya tinggi besar dengan dada tegap terlatih. Sambil sesekali menghirup rokok putih dan mengunyah daun sirih, Sofyan menjawab semua pertanyaan TEMPO News Room dengan lugas dan santai. Selama wawancara, belasan warga masyarakat lainnya mengelilingi kami dan menyimak dengan seksama setiap jawaban Sofyan. Termasuk kesiapan mereka jika Jakarta memutuskan memerangi mereka. Petikannya.

Pemerintah Indonesia menuduh GAM tidak punya itikad baik menjalankan perjanjian penghentian permusuhan (Cessation of Hostilies Agreement), yang ditandatangani 9 Desember lalu. Karena itu operasi militer adalah jalan satu-satunya menyelesaikan masalah Aceh. Bagaimana sebenarnya posisi dasar GAM dalam perjanjian itu?
Kami sebenarnya tidak menolak klausul perjanjian penghentian permusuhan. Semua tudingan pemerintah Republik Indonesia pada kami, tidak benar. Malah, pihak RI sendiri yang tidak melaksanakan poin perjanjian seperti penarikan pasukan TNI dari tempat-tempat yang tidak resmi dan pembuatan zona damai. Saya tekankan, justru pihak Indonesia yang tidak melaksanakan poin-poin perjanjian itu. Pasukan TNI masih membawa-bawa senjata di dalam pos-pos penjagaan di zona damai. Operasi ofensif juga masih dilakukan TNI. Belum lagi, sejak penandatangangan perjanjian 9 Desember lalu, banyak senior GAM yang diculik dan ditangkap. Ada pula yang ditembak. Banyak yang kami tidak tahu sekarang ada di mana. Pendeknya, kami kehilangan banyak. Dalam situasi seperti ini, RI terus memaksa kami untuk menggudangkan senjata. Itu mustahil.
Sebelum melangkah lebih jauh, sebenarnya sekarang kedua pihak lebih baik membahas apa saja persoalan yang menghambat di lapangan, dalam implementasi perjanjian penghentian permusuhan ini. Dialog bisa dilakukan di Kuala Tripa (markas Joint Security Council (JSC) di Banda Aceh – red.) atau di Jenewa. Yang harus dibahas, apa yang terjadi di lapangan? Mengapa konflik Aceh tak bisa diselesaikan secara damai?
Benarkah ada pihak yang mengambil kesempatan di masa penghentian permusuhan?

Sebenarnya, dalam masa damai ini, pihak RI mengambil kesempatan paling banyak. Misalnya, soal penambahan pasukan dari Jakarta ke Aceh yang terus terjadi. TNI juga terus membangun pos-pos penjagaan di kampung-kampung, di tengah masyarakat. Cara-cara seperti itu malah bisa menggagalkan perjanjian penghentian permusuhan. Jadi kalau Indonesia menuduh kami tidak beritikad baik, kami juga bisa balik menuduh mereka. Akhirnya, kedua belah pihak bisa saling tuduh menuduh. Tentu bukan itu tujuan kita sekarang. Saat ini, sudah ada lembaga internasional (yang menjadi mediator). Sudah ada JSC yang di dalamnya ada pihak RI dan GAM. Sebenarnya, semua persoalan bisa dibahas di sana. Tapi, sekarang, RI terus memaksa kami meletakkan senjata dan menerima otonomi khusus dalam UU Nanggroe Aceh Darussalam.
Kenapa dengan itu?

Sekarang ini, kita tidak berada dalam fase untuk berbicara soal penerimaan UU Nanggroe Aceh Darussalam atau kemerdekaan. Yang harus dibicarakan adalah persoalan security atau keamanan di lapangan, misalnya bagaimana TNI tidak melakukan operasi, bagaimana GAM tidak melakukan penyerangan. Ini langkah pertama.
Indonesia menuduh GAM tidak mau menggudangkan senjata. Benarkah?

Soal penggudangan senjata oleh GAM sendiri, sebenarnya sudah kami laksanakan. Misalnya, 75 persen persenjataan kami secara de facto sudah tidak ada di wilayah perkotaan dan tempat-tempat yang bisa membahayakan masyarakat. Itu kami lakukan untuk menghindari pertempuran. Selain itu, kami juga konsisten tidak melakukan penyerangan ke pos-pos penjagaan TNI, baik yang ilegal maupun yang legal. Kami tetap di posisi bertahan.
Kami bukannya tidak melakukan apapun dalam fase pertama ini. Kami sudah pernah membuat daerah sampel penggudangan senjata di kawasan Lhokup, Aceh Timur. Tapi, ketika kami buat itu, TNI malah mengepung daerah itu. Jadi, RI sendiri terkesan tidak ikhlas menyelesaikan masalah Aceh. Dengan mengepung daerah sampel penggudangan senjata, tampak keinginan TNI untuk merebut semua persenjataan kami. Akibatnya, mustahil bagi kami untuk melaksanakan penggudangan senjata dalam kondisi seperti itu.
Sebelum penyerangan di Lhokup itu, kami sudah menginformasikan pada Hendry Dunant Center dan JSC bahwa TNI mengepung daerah penggudangan senjata kami. Apa jadinya kalau kami membuat belasan daerah penggudangan senjata? Lalu kami dikepung, bagaimana? Makanya sampai saat ini, kami belum bisa mempercayai TNI dan melakukan penggudangan senjata, jika TNI belum menarik pasukannya dari pos-pos penjagaan tidak sah maupun dari tengah-tengah masyarakat.
Mengapa insiden di tengah penggudangan senjata bisa terjadi? Apakah JSC tidak diberitahu sebelumnya?

Insiden di Lhokup itu terjadi karena TNI selalu membuat operasi di tempat-tempat rawan. Daerah itu kan sebenarnya jauh dari keramaian masyarakat, jauh di pegunungan. Namun, mereka sengaja membuat operasi di tempat-tempat seperti itu. Akibatnya, terjadi bentrokan. Di Jakarta, omongan menteri-menteri itu memang oke, soal komitmen mereka atas perjanjian penghentian permusuhan, tapi mereka tidak menyosialisasikan isi perjanjian itu kepada prajurit TNI di lapangan. Akibatnya terjadi banyak pelanggaran. Bahkan, ada jenderal yang terus menerus menghembuskan isu ancaman yang membakar emosi prajurit di lapangan, seperti, “GAM harus ditumpas! GAM harus dihabisi.”
Bagaimana dengan demonstrasi anti-JSC di beberapa daerah di Aceh. Artinya ada juga masyarakat yang tidak puas dengan kerja JSC?

Demonstrasi di Takengon, Aceh Tengah dan Langsa, Aceh Timur adalah murni rekayasa. Dengan demo itu, RI ingin JSC keluar dari Aceh. Karena kalau RI menarik diri begitu saja dari perjanjian penghentian permusuhan, mereka akan dikecam oleh dunia internasional. Adanya demo di Langsa dan Takengon membuat RI ada alasan. Yang berdemo di Takengon dan Langsa, adalah sanak keluarga anggota TNI sendiri.
Kalau TNI merekayasa demo, bukankah GAM juga bisa melakukan hal serupa?

Saya kira jika GAM melakukan hal yang sama (memobilisir demonstrasi –red.), akan lebih banyak lagi warga masyarakat yang turun ke jalan. Bukan seribu orang yang datang ke kantor JSC, tapi seluruh orang Aceh. Tapi, kami tidak melakukan itu, justru (kami) melindungi JSC dan memberi mereka jaminan keamanan melaksanakan tugasnya. Lihat saja, akibat demo-demo dan ancaman itu, JSC sekarang tidak lagi bisa menjalankan tugasnya. Itu semua karena pemerintah RI tidak bisa menjamin keamanan mereka di lapangan.
Bagaimana dengan kasus Bireuen? Di sana sebuah mobil di depan kantor JSC ditembaki.

Makanya kami katakan, pemerintah RI sama sekali tidak menjamin keamanan personel JSC di daerah-daerah. Situasi ini direkayasa oleh mereka. TNI juga berusaha mengadu domba masyarakat dengan membentuk milisi. Milisi ini digunakan sebagai komponen untuk melawan GAM. Sama seperti yang dilakukannya di Timor Timur dengan komandannya Eurico Gueteres. Milisi di sini, hanya segelintir saja jumlahnya, itupun bukan orang asli Aceh melainkan para transmigran yang bukan berasal dari Aceh.
Menurut GAM sendiri, bagaimana kerja JSC?

Saya memperoleh informasi dari dalam JSC sendiri, bahwa JSC sulit menjalankan tugasnya di lapangan karena tidak ada jaminan keselamatan. Semua simbol JSC dianggap musuh oleh pemerintah RI karena di dalam JSC ada tiga lembaga, termasuk GAM. Seharusnya, pemerintah RI melindungi semua komponen dalam JSC termasuk GAM. Pemerintah RI terus membuat isu masyarakat Aceh menolak kehadiran JSC. Padahal, yang benar, masyarakat Aceh menginginkan lebih banyak lagi badan internasional hadir di sini.
Karena apa? Karena rakyat Aceh tahu selama 57 tahun Aceh di bawah RI, tidak ada satupun masalah yang bisa diselesaikan Indonesia sendiri. Maka dari itu, masalah Aceh ke depan, harus diselesaikan bersama pihak internasional. Masalah Aceh bukan lagi masalah Indonesia saja, tapi sudah jadi masalah internasional. Ini lebih baik untuk masa depan Aceh.
GAM menuduh TNI membentuk milisi pro merah putih, Anda punya bukti?

Memang kami tidak menangkap (milisi). Kalau kami mau tangkap, mungkin sudah dapat banyak. Tapi kami sengaja menghindari itu, karena kita berada dalam suasana perjanjian penghentian permusuhan. Seharusnya RI yang menangani masalah ini, karena keamanan adalah tanggungjawab mereka, RI harus selesaikan ini.
Tapi ada tidaknya milisi, bisa kita ketahui dari cerita para pengungsi dari Takengon yang lari ke Banda Aceh karena diintimidasi mereka. Penanganan atas milisi ini terserah pada TNI dan polisi. Kami sendiri sudah punya daftar nama-nama mereka. Kalau RI minta kami buktikan ada tidaknya milisi ini, kami bisa tangkap barang 2-3 orang untuk diserahkan pada pihak RI. Kalau RI tidak mau menangkap mereka, kami yang akan menangkap.
GAM juga menuduh ada anggota TNI menyamar jadi milisi…

Dalam milisi-milisi ini ada anggota TNI yang jadi pimpinannya. Ada juga purnawirawan dan keluarganya. Banyak warga Takengon, Aceh Tengah yang melarikan diri karena dipaksa milisi melakukan demonstrasi menentang JSC di sana.
Kalau betul begitu, kenapa GAM tidak meminta warga menentang keberadaan milisi dengan demo atau laporan langsung ke JSC?

Kami tidak mau. Tidak usah kami buat pun, dunia internasional sudah tahu apa yang terjadi di Aceh. Semua orang tahu rakyat Aceh menolak operasi militer dan ingin ada lebih banyak badan internasional datang ke sini. Di banyak daerah, sebenarnya ada banyak warga yang sudah ingin turun ke jalan mendukung JSC dan mendemo pos-pos TNI di desanya, tapi kami halangi, tidak usah. GAM sendiri yang menghalangi keinginan masyarakat yang seperti itu. Kami hanya minta badan-badan internasional untuk datang ke Aceh dan memantau situasi di sini. Kami juga berkomitmen, tidak ingin ada korban jatuh lagi di Aceh, baik dari GAM, rakyat maupun TNI.
Bagaimana dengan kasus penculikan 57 keuchik di Pidie. Bukankah itu bukti GAM melanggar perjanjian 9 Desember?

Tidak ada satupun keuchik yang diculik GAM. Kalau kita mau menculik keuchik, tidak hanya 57 orang, sejuta pun kami dapat. Keuchik di Aceh adalah orang-orang kami bukan orang RI. Jangankan keuchik, camat pun belum ada yang kami culik. Kalau kami mau main culik, bupati pun bisa kami ambil. Untuk apa kami culik keuchik? Lebih baik kami culik camat! Di seluruh Aceh ini, ada berapa keuchik? Hari ini, saya perintahkan, 200 keuchik pun bisa saya dapat. Jangankan hanya 50-an.
Ini soal lain. Jakarta pernah menyatakan bahwa dengan perjanjian 9 Desember, GAM sudah menerima UU Nanggroe Aceh Darussalam.

Kami tidak pernah menerima UU Nanggroe Aceh Darussalam. Kami hanya mengakui otonomi khusus sebagai langkah awal. Apa yang dikatakan pemerintah Indonesia bahwa GAM menerima UU Nanggroe Aceh Darussalam itu tidak benar. Kami menganggap UU Nanggroe Aceh Darussalam adalah langkah awal penyelesaian masalah Aceh. Jadi tafsir GAM dengan pemerintah Indonesia dalam soal ini, berbeda.
Jadi, menurut Anda, GAM sudah berusaha menunjukkan itikad baik menjaga perdamaian?

Kalau kami tidak beritikad baik, semua pos penjagaan TNI dan polisi sudah kami serang. Sejak 9 Desember, sudah berapa pos TNI yang kami serang? Tidak ada satupun. Kalau kami tidak beritikad baik, kami sudah serang mereka semua. Tapi kami menjaga kesepakatan ini. Kami terus berada dalam posisi bertahan. Baru, kalau mereka menyerang markas kami, ndak mungkin kami teriak, “Hoooi…jangan tembak-jangan tembak!” Kalau mereka menembak, ya kami balas.
Sebenarnya, bagaimana proyeksi GAM untuk menyelesaikan masalah Aceh?

Dalam perjanjian 9 Desember sudah diatur, bahwa pada tahun 2004 ada rencana pelaksanaan pemilu lokal secara demokratis di Aceh. Itu yang pada saatnya, harus dibahas detail proses pelaksanaannya. Saat ini, pemerintah Indonesia berkeras Aceh harus masuk Negara Kesatuan RI, sedang GAM ingin merdeka. Ini dua hal yang 24 jam sehari terus bertentangan. Karena itu, sudah seharusnya rakyat Aceh sendiri yang menentukannya secara demokratis. Maunya rakyat bagamana? Status Aceh mau seperti apa? Kalau kita tidak memberi kesempatan rakyat Aceh menentukan nasib sendiri, sampai kapanpun masalah Aceh tak akan bisa diselesaikan. Puluhan tahun Aceh menjadi medan pertempuran RI dengan GAM. Sudah 27 tahun lebih, masalah Aceh tak juga tuntas. Kenapa? Karena tidak melibatkan aspirasi rakyat Aceh. Dengan perjanjian ini, rakyat Aceh mendapat peluang untuk menentukan sendiri sikap dan nasib mereka.
Tapi pemerintah Indonesia beranggapan pemilu lokal yang diatur dalam perjanjian 9 Desember adalah sebagai bagian dari pemilu di seluruh Indonesia?

Persepsi pemerintah Indonesia itu persepsi yang salah. Kalau pemilunya memilih presiden, gubernur, anggota DPR, itu kan pemilu Indonesia yang diadakan setiap lima tahun. Menteri RI yang punya persepsi seperti itu kelihatannya pura-pura bodoh. Pemilu lokal yang diatur dalam perjanjian penghentian permusuhan, bukan pemilu yang seperti itu. Ini dua hal yang sangat berbeda.
Jadi nanti pemilu lokal itu memilih ikut merah putih atau merdeka? Seperti referendum?

Kurang lebih seperti itu. Ke depan, kita akan bicarakan lagi seperti apa rencana yang lebih matang soal pelaksanaan pemilu itu. Namun, yang jelas perjanjian 9 Desember telah menetapkan bahwa setahun lagi akan diadakan sebuah pemilihan lokal yang demokratis untuk menentukan pemerintahan sendiri di Aceh. Itu jelas tercantum. Silakan baca lagi perjanjian itu.
Kalau hanya memilih gubernur dan bupati saja, untuk apa lembaga internasional hadir d sini? HDC dan JSC ada di Aceh untuk memantau dan menjadi hakim bagi sebuah pemilu lokal yang demokratis di Aceh pada 2004 depan. Momen itulah yang sekarang sangat dinanti-nantikan rakyat Aceh. Sayangnya, sekarang rakyat dibuat kalang kabut oleh rencana operasi militer yang dihembuskan pemerintah RI. Jadi, sebenarnya GAM ini hanya ingin melayani apa kemauan rakyat Aceh saja. Rakyat sudah lelah puluhan tahun menderita oleh operasi militer TNI. Tapi kalau RI tetap ingin melaksanakan operasi militer, kami siap mempertahankan kedaulatan wilayah kami dengan mengangkat senjata.
Ada tuduhan bahwa GAM juga memanfaatkan masa damai dengan menambah pasukan dan persenjataan.

Sekarang begini saja, dalam politik memang selalu ada propaganda semacam itu. Dulu, di masa pertempuran, TNI mengatakan GAM sudah habis kekuatannya, senjatanya berkurang. Kenapa? Agar tak ada lagi yang mendukung GAM karena kami lemah. Sekarang, setelah 9 Desember, kami dituduh menambah senjata, merekrut orang baru. Jadi propagandanya dibalik. Kenapa? Karena dalam perjanjian, kewajiban GAM adalah menggudangkan senjata. Dulu kami dianggap sudah habis, sekarang kami dituduh terus bertambah. Padahal, yang benar, kami tidak kurang dan tidak banyak.
Sekarang, coba berapa orang rakyat Aceh? Sekitar 4 juta orang. Dari jumlah itu, 3 juta di antaranya adalah simpatisan GAM. Mereka semua mendukung kemerdekaan. Kalau mereka mendukung kemerdekaan, otomatis mereka mendukung GAM, iya kan?
Apa buktinya?

Kalau masih belum percaya, coba saja hari ini, atau bulan depan, adakan referendum di Aceh. Opsinya ada dua; merdeka atau ikut RI. Jelas yang menang adalah opsi merdeka. Itu pasti. Artinya, masyarakat Aceh lebih mendukung GAM daripada TNI. Tapi, walaupun senjata kami hanya sedikit dan anggota kami hanya sepuluh orang pun, kami akan tetap menuntut kemerdekaan.
Bagaimana dengan tuduhan GAM melakukan pemerasan pada rakyat sipil?

Itu bukanlah pemerasan. Di Aceh ini, diakui atau tidak, ada dua pemerintahan yang sedang berjalan. Pemerintahan negara Aceh dan RI. Pemerintahan kami berjalan 70 persen sedangkan administrasi pemerintah RI paling berjalan 30 persen. Karena kami pemerintah yang sah, kami menarik pajak. Daripada kami merampok dan merompak proyek-proyek Indonesia di sini, lebih baik mana?
Pajak ini legal. Sebuah negara berdaulat pasti menarik pajak dari warganya. Bedanya, kalau RI menarik pajak dari Aceh lalu membawanya ke Jakarta, kalau kami menggunakan pajak ini untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri. Sekarang, siapa yang lebih baik?
Apa betul pajak ini dibayar warga secara sukarela?

Tentu saja. Warga Aceh tahu untuk apa pajak ini dan membayar sukarela. Tentu ada juga yang mengaku diperas, karena seperti saya katakan masih ada 10 persen rakyat Aceh yang pro Indonesia. Mereka inilah yang memberitahu macam-macam.
Apakah mereka yang menolak membayar pajak dikenai sanksi? Misalnya untuk pengusaha, dihentikan usahanya?

Memang ada. Mereka yang menolak membayar kami proses secara hukum. Karena negara Aceh ini punya hukum. Kami tidak menuntut jumlah uangnya, bukan itu. Tapi lebih pada ketaatan pada hukum yang berlaku di negeri Aceh ini. Kalau negara Aceh tidak punya hukum, manusia tak ada hukum, maka tak ada bedanya dengan binatang. Dengan penarikan pajak ini, kami sekaligus memberi pengertian pada rakyat Aceh, bahwa pemerintahan negara ini punya hukum.
Apakah GAM juga memperjuangkan penerapan Syariat Islam?

Tidak ada itu. Di Aceh, menerapkan syariat Islam sama saja dengan membuang garam ke laut. Tertawa orang mendengarnya. Itu hanya keinginan Jakarta saja. Air laut sudah asin, untuk apa dikasih garam pula? Saat ini, kami tidak membahas apakah ada syariat Islam atau tidak. Yang terpenting adalah nasib rakyat Aceh dan status kemerdekaannya. Bagaimana menampung kemauan rakyat Aceh sendiri.
Perkembangan terakhir, GAM setuju diadakan sidang Join Council?

Kami setuju saja sidang Joint Council diadakan. Tapi bukan untuk membicarakan masalah baru lagi. Yang harus dibicarakan terlebih dahulu adalah soal implementasi klausul perjanjian penghentian permusuhan ini. Soal keamanan ini harus dibahas dan diselesaikan dulu. Jangan dulu melangkah ke masalah baru, misalnya, bicara soal UU Nanggroe Aceh Darussalam, mempersoalkan pajak yang ditarik GAM, atau tuntutan kemerdekaan kami. Kalau itu yang dibicarakan, artinya RI tidak menawarkan penyelesaian masalah, tapi ingin GAM menyerah pada RI.
Lokasi sidang Joint Council pun harus di Jenewa. Tampat lain tidak mau kami terima. Kalau tetap mau perang, kami akan layani. Kalau hanya menghadapi operasi militer TNI, keluar keringatpun kami tidak. Saya beritahu, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak usah repot mengumumkan kapan operasi militer akan dilaksanakan di Aceh, sebab tanpa diumumkan pun setiap hari, sampai hari ini, selalu ada operasi militer di Aceh. Sama saja. Semua strategi militer TNI sudah pernah dicoba di Aceh dan gagal.
Apa pilihan yang ada sekarang untuk menyelamatkan perjanjian damai?

Pilihan RI sekarang sebenarnya hanya dua: menyelesaikan Aceh dengan kekerasan atau jalan damai. Jangan menggunakan perjanjian ini untuk kepentingan RI. Sebab perjanjian ini adalah untuk kepentingan rakyat Aceh secara keseluruhan. Bukan TNI ataupun GAM. Sudah saatnya, kita memberi peluang bagi untuk masyarakat Aceh. Semua masyarakat seharusnya diberi kesempatan memberikan aspirasi secara bebas dan demokratis. Jangan langsung dituding GAM, lalu diculik dan ditangkap. Kita beri kesempatan rakyat Aceh memberikan pendapat secara bebas dan terbuka.
Apakah GAM juga menjamin keselamatan rakyat Aceh yang pro Jakarta?

Kalau kami tidak menjamin keselamatan mereka, semua camat sekarang ini sudah habis. Semua bupati di Aceh ini sudah habis. Tapi, kami mendukung suasana damai. Buktinya kami tidak ambil tindakan pada satupun petinggi RI di Aceh. Kami menjamin keselamatan siapapun di Aceh, asalkan tidak mengganggu dan mengancam kami. Misalnya ada aparat intelijen di lapangan, ya jelas itu melawan kami. Kalau jurnalis, pengusaha, atau masyarakat biasa, kami jamin keselamatannya. Selama pelaksanaan tugas mereka tidak membuat keresahan masyarakat untuk melawan kami. Kalau melanggar, kami memiliki sistem hukum untuk memprosesnya.
Tapi, kenapa petinggi kami terus menerus diambil, diculik dan ditangkap? Sampai hari ini, nama-nama orang GAM masih masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) TNI dan polisi. Termasuk nama saya. Padahal sejak 9 Desember seharusnya tidak ada lagi DPO. Karena permusuhan telah dihentikan. Kalau nama-nama kami masih masuk DPO, artinya perjanjian 9 Desember itu tak bermakna apa-apa.
Bagaimana kesiapan GAM jika Jakarta berkeras melaksanakan operasi militer?

Kalau RI berkeras membuat operasi militer, terserah. Tapi, kami tegaskan, kami ingin menyelesaikan Aceh ini dengan damai, demokratis, dan tulus ikhlas dalam koridor perjanjian penghentian permusuhan 9 Desember.
Ada strategi khusus untuk menghindari pengepungan TNI seperti yang terjadi di Cot Trieng tahun lalu?

Ah, soal Cot Trieng itu kan propaganda TNI saja. Kalau memang pengepungan itu berhasil, apa yang mereka dapatkan di sana? Hanya biawak! Lain kali kalau mau berburu biawak, suruh lurah dan hansip saja yang turun. Saya katakan, jangan sebut pengepungan Cot Trieng itu berhasil. Bahkan menghadapi pengepungan dengan personal dan persenjataan 90 persen lebih hebat dari Cot Trieng pun, masih bisa kami hadapi. Saya tahu semua taktik operasi intelijen TNI. Makanya saya bisa hindari setiap serangan dan kepungan mereka. Kami juga bisa mengendalikan penuh anggota kami di lapangan. Hukum kami ditegakkan pertama-tama justru di lingkungan anggota GAM sendiri.

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

STATUS ACHEH DALAM NKRI

Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976

SYARAT UNTUK DI TERIMA MENJADI TEUNTRA DAULAH ISLAMIYAH