Keunikan dan Pesona Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Wajib Dikunjungi

Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Kaya Akan Warisan Budaya dan Alam Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia, dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah." Provinsi ini bukan hanya kaya akan sejarah Islam, tetapi juga menawarkan keindahan alam yang memukau dan tradisi budaya yang kuat. Aceh adalah destinasi yang sempurna untuk kamu yang mencari pengalaman wisata yang unik sekaligus mempelajari sejarah panjang Indonesia. 1. Sejarah dan Peran Islam di Aceh Aceh memiliki sejarah panjang sebagai pintu masuk Islam di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai di Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Karena itulah Aceh dijuluki Serambi Mekah, sebagai simbol peran pentingnya dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Hingga saat ini, adat istiadat dan hukum syariah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh menjadi ikon utama yang sering dikunjungi wisatawan. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempa...

Sultanah Taju Alam Safiatuddin Syah wanita pertama menjadi sultanah di kerajaan Aceh Darussalam

Sultanah Taju Alam Safiatuddin Syah merupakan wanita pertama yang diangkat menjadi sultanah di kerajaan Aceh Darussalam. Sultanah ini diangkat pada saat Aceh dalam pergolakan politik, sosial, budaya karena kaum pria belum siap untuk dipimpin wanita.
Hal ini berangkat dan pertentangan ideologi di kalangan ulama. Sebagian mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi pemimpin sedangkan sebagian lagi membolehkan wanita menjadi pemimpin. Ulama yang membolehkan berargumentasi bahwa wanita hanya dilarang menjadi imam dalam shalat sedangkan untuk menjadi pemimpin urusan dunia seperti menjadi sultanah tidak dilarang. Apalagi pada saat itu satu-satunya orang yang berhak mewarisi tahta adalah Tajul Alam Safiatuddin Syah karena Sultan Iskandar Muda hanya meninggalkan seorang puteri dan kebetulan wanita..
Pada masa Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636 M), Aceh berhasil melakukan konsolidasi kekuasaan sehingga wilayah meliputi Sumatera dan Semanjung Tanah Melayu. termasuk Pahang dan Johor. Sultan Iskandar Muda menikah dengan puteri raja Pahang yang bernama Puteri Kamaliah, yang di Aceh dikenal dengan nama Putroe Phang. Puteri ini populer di kalangan masyarakat Aceh karena sangat bijaksana dalam menyelesaikan peraturan perundang-undangan.
Dari pekawinan Sultan Iskandar Muda dan Puteri Kamaliah, lahirlah Puteri Seri Alam tahun 1641 yang ketika dewasa dinikahkan dengan Raja Mughal putera Raja Ahmad Syah dan Puteri Bongsu Candera Dewi yang dibawa ke Aceh setelah Sultan lskandar Muda berhasil mensterilkan Pahang dari pengaruh kolonial Portugis.
Di Aceh keluarga Raja Ahmad Syah dihormati dan dilayani dengan baik. Ini dibuktikan dengan dinikahkannya Raja Mughal dengan puterinya yang bernama Tajul Alam Safiatuddin dan bahkan diangkat menjadi Sultan Aceh setelah Iskandar Muda meninggal pada tahun 1636 diberi gelar Sultan Iskandar Tsani yang berkuasa sampai tahun 1641 yang kemudian diganti oleh istrinya Sultanah Tajul Alam Safiatuddin, satu-satunya puteri Sultan Iskandar Muda.
Sultan Tajul Alam Safiatuddin sangat gemar ilmu pengetahuan dan sastra. Ketika ia belajar sastra dan Hamzah Fansuri dan ilmu fikih dan Syeikh Nuruddin Ar raniri. Karena latar belakang ini, tidak mengherankan ketika berkuasa Ia membuat anggaran khusus bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dikelola oleh Hamzah Fansuri. Sultanah ini bahkan juga mengirim beberapa orang untuk menimba ilmu ke pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu termasuk Syeikh Nuruddin untuk memperdalam ilmunya selain menulis kitab-kitab hukum Islam.
Selain memperhatikan ilmu pengetahuan, Puteri Sultan Iskandar ini juga memperhatikan pembangunan pertahanan militer dengan membentuk barisan khusus wanita yang bertugas mengawal istana sekaligus sebagai pasukan elite kerajaan. Untuk memberi semangat pasukan elite ini, ia sendiri yang memeriksa dan mengontrol pasukan itu dengan menunggang kuda. Keterampilan menunggang kuda itu Ia dapatkan dan kebiasaanya pada masa remaja yang suka berburu bersama suaminya sambil menunggang kuda.
Bidang kesejahteraan juga tidak luput dan perhatiannya. Sultanah Tajul Alam Safiatuddin sangat serius pada janda dan anak korban perang di Malaka tahun 1640. Untuk mereka dibangunkan sebuah kota yang terkenal dengan nama kota Inong Balee di Krueng Raja yang pembangunannya dibiayai dan uang kerajaan dan zakat. Kota ini dijaga ketat agar para janda dan anak-anak korban perang dapat hidup aman dan layak. Begitu perhatiannya, bagi mereka yang mau menikah juga diberi tunjangan uang.
Dibandingkan bidang militer. Sultanah Tajul Alam Safituddin lebih fokus pada pembangunan pendidikan, ekonomi, dan sosial terutama pengembangan agama di masyarakat. Dalam pengembangan agama, Ia dibantu oleh Syeikh Nuruddin Al-Raniri dan Syeikh Abdul Rauf Singkel yang dikenal dengan Syiah Kuala. Syeikh Abdul Rauf mempunyai pengaruh yang besar di Aceh karena pengetahuannya yang luas, maju dan terbuka sehingga bisa diterima semua kalangan.
Mengenai sifat pribadi Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Syeikh Nuruddin dalam kitabnya Bustanuss Salatin menggambarkan kepribadiannya:
“Bahwa adalah pada baginda itu beberapa sifat kepujian dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah dan senantiasa sembahyang ilma waktu, dan membaca kitabullah dan menyuruhkan orang berbuat baik dan melarang orang berbuat kejahatan seperti diturunkan Allah kepada Nabi kita Muhammad SAW. Ia terlalu sangat adil perihal memeriksa dan menghukum segala hamba Allah “.
Untuk memperkokoh Islam, Tajul Alam Safiatuddin mengirim ulama ke Mekkah, Madinah, Bagdad, dan India. Setelah berhasil, mereka kembali ke Aceh dan menulis kitab. Hasil dan misi ini adalah ditulisnya banyak buku oleh para ulama yang dikirim tersebut. Syeikh Abdul Rauf Singkel sebagai contoh menulis:
1. Mir’at al —Tullan,
2. Umdat al-Muktajin,
3. Kifayat al-Muktadin Mau’izat al Badi,
Sedangkan Nuruddn Al Raniri menulis:
1. Bustan al Salatin,
2. Hujjat aI-Siddiq li Daf’al Zindiq,
3. Tibyan Fi Ma’rifat al-Adyan,
4. Sirat Al-Mustaqin.
5. Syifa al- Qulub,
6. Durrat Al-Fara’id.
Bila ayahnya membuat konstitusi dan peraturan adat-istiadat yang dinamakan Adat Mahkota Alam, maka Tajul Alam menyempurnakan tata kelola kerajaan dengan membentuk Parlemen yang tertuang dalam peraturan kerajaan yang diberi nama Qanun Al-Asyi Darus Salam. Pada abad ke-17 yang lalu, pemberdayaan wanita juga telah diperhatikan oleh Tajul Alam seperti tercermin dalam susunan anggota Parlemen dengan memasukkan 16 wanita dan jumlah total 73 wakil rakyat.
Selain itu, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin juga sangat piawai dalam berdiplomasi. Kasus tambang timah Perak membuktikan kepiawaian sang ratu. Perak yang merupakan negeri taklukan Aceh di Semenanjung Malaka dengan hasil tambang Perak yang berlimpah. Karena itulah, Belanda dan Portugis mengincar daerah ini Dalam rangka mewujudkan ambisinya, Gubernur Jenderal Belanda Antonie van Dieman (1636-1645) yang berkedudukan di Jakarta mengirim delegasi yang dipimpin oleh Arnold de Vlamingh van Outschoorn dan Jan Harmanzs dengan misi agar Aceh menekan Perak untuk menjual hasil tambang timah ke Belanda. Delegasi Belanda itu ditolak dengan halus oleh sang Sultanah karena Perak masih daerah yang ada di bawah naungan Aceh dan menanyakan kembali alasan mengapa Belanda menyerang Perak sebelumnya.
Belum puas dengan hasil delegasi tersebut, Belanda mengajak Aceh berunding pada tahun 1645. Aceh memberi kebebasan kepada orang-orang Islam asal India untuk membeli timah di Aceh dan semenanjung Melayu sementara Belanda hanya diberi janji manis dan tetapi dalam praktiknya Belanda tidak diberi akses untuk membeli hasil tambang timah.
Dan Aceh menutup kantor dagang yang dibuka oleh Belanda. Kali ini, Belanda masih belum putus asa, G.G. Van Lijn melakukan persuasi dengan mengirim surat kepada Tajul Alam yang berisi minta izin untuk bisa membeli timah di Perak sebagaimana yang dilakukan Portugis. Surat itu dijawab Sultanah Tajul Alam Safiatuddin dengan diplomatis tertanggal bulan Desember 1647 yang isinya mengatakan bahwa pada dasarnya semua pihak asing baik Inggris, Portugis maupun Belanda diberi hak yang sama untuk membeli komoditas timah dan Perak. Oleh karena itu Aceh tidak bisa memberikan hak istimewa kepada Belanda dan Aceh sendiri hanya memanfaatkan komoditas itu sebanyak 600 bahar. jumlah ini jauh lebih kecil dan jumlah yang dapat dibeli Belanda.
Jengkel dengan kebijakan yang dibuat Tajul Alam, Belanda melakukan siasat adu domba dengan menghasut daerah-daerah bawahan Aceh untuk melawan Aceh. Salah satu daerah bawahan yang terpancing hasutan Belanda adalah Pariaman. Begitu mendengar Pariaman memberontak, Tajul Alam langsung mengirim pasukan yang dipimpin para panglimanya untuk memadamkan pembrontakan Pariaman dan meluluhlantakkan benteng-benteng yang dibangun bersama Belanda.
Hasutan jahat Belanda tidak hanya disulut di Pariaman saja, namun juga ditanamkan di daerah-daerah bawahan Aceh lainnya. Sebagai akibatnya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin menghadapi musuh dan dalam yakni daerah-daerah bawahan yang telah termakan hasutan Belanda dan pada saat yang sama juga menghadapi Belanda dengan segala taktiknya yang berdampak pada semakin merosotnya kekuatan pasukan Aceh. Melihat situasi seperti ini, banyak daerah melepaskan diri satu demi satu seperti Sumatera Barat dan Sumatera Timur dan lebih memilih bekerja sama dengan Belanda namun pada akhirnya tertipu karena menjadi jajahan Belanda sehingga tidak bisa memanfaatkan aset ekonominya yang sedikit demi dikuasai Belanda.
Setelah memimpin Aceh menuju era keemasan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra, akhirnya Sultanah Tajul Alam Safiatuddin meninggal dunia pada tanggal 23 Oktober 1675 ketika banyak daerah bawahan yang mulai melepaskan diri. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Belanda dengan membawa pasukan dan alat perang lengkap bukan dalam rangka membuat perjanjian kerja sama perdagangan tetapi menjajah dan menguasai seluruh aset ekonomi Aceh.
Terlepas dan itu semua, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin telah berhasil membangun karakter dan mental rakyat Aceh selama kurang lebih 34 tahun dengan menanamkan semangat cinta tanah air, patriotisme, dan pantang menyerah bersumber pada ajaran Agama. Sentuhan rohani ini benar-benar terpatri di dada rakyat Aceh sehingga nama Tajul Alam tetap dikenang di hati rakyat Aceh.
Pada pribadi Tajul Alam Safiatuddin tidak hanya sebagai seorang sultanah, tetapi ia juga sebagai sosok negarawan, diplomat, sekaligus pemimpin masyarakat dan agama.

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

STATUS ACHEH DALAM NKRI

Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976

SYARAT UNTUK DI TERIMA MENJADI TEUNTRA DAULAH ISLAMIYAH