Keunikan dan Pesona Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Wajib Dikunjungi

Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Kaya Akan Warisan Budaya dan Alam Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia, dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah." Provinsi ini bukan hanya kaya akan sejarah Islam, tetapi juga menawarkan keindahan alam yang memukau dan tradisi budaya yang kuat. Aceh adalah destinasi yang sempurna untuk kamu yang mencari pengalaman wisata yang unik sekaligus mempelajari sejarah panjang Indonesia. 1. Sejarah dan Peran Islam di Aceh Aceh memiliki sejarah panjang sebagai pintu masuk Islam di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai di Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Karena itulah Aceh dijuluki Serambi Mekah, sebagai simbol peran pentingnya dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Hingga saat ini, adat istiadat dan hukum syariah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh menjadi ikon utama yang sering dikunjungi wisatawan. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempa...

Paradigma Primitif

PERNYATAAN “Pemerintah Aceh Optimis Pertumbuhan Ekonomi 6%”, (Serambi Indonesia, 06 Januari 2011) terasa begitu mudah dilontarkan oleh seorang pejabat provinsi ini. Padahal, jika dikaji secara ilmiah, para ekonom yang “mengerti” terhadap pernyataan tersebut akan mengatakan, statemen itu masih sebatas “slogan” atau hanya bersifat “retorika”. Implisitnya, pernyataan tersebut berpijak sangat kental pada paradigma primitif (model kuno).

Mengapa dikatakan paradigma primitif? karena saat ini para ekonom dunia telah mengalihkan paradigmanya bukan tertuju pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi lebih menitikberatkan pada paradigma pemerataan pendapatan (income distribution).

Pernyataan tersebut juga konyol, simak penjelasan berikut. Katakanlah pertumbuhan ekonomi Aceh 6% atau 8% atau 100%, maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah masyarakat akan sejahtera dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang 100% tadi? Belum tentu! Ada tiga alasan utama yang dapat penulis ungkapkan. Pertama, secara teoritis, apakah perhitungan pertumbuhan ekonomi 6% tersebut berdasarkan harga konstan atau harga berlaku? Jika pertumbuhan ekonomi tersebut dihitung berdasarkan harga berlaku, maka pernyataan tersebut lebih bersifat nominal bukan riil.

Jika kita menilik lebih jauh pada teori pertumbuhan ekonomi (economic growth theory), maka konsep pertumbuhan yang masih diagungkan oleh pejabat-pejabat terkait di Provinsi Aceh adalah sebuah konsep pertumbuhan yang dikembangkan pada tahun 1950-an dan 1960-an dan kemudian dibicarakan lagi setelah mati suri 30 tahun, yaitu akhir tahun 1980-an dan awal 1990. Kontributor terhadap teori ini adalah Robert Solow (1956) dengan sebutan “neoclassical growth theory”.

Padahal, paradigma terhadap teori pertumbuhan telah beralih pada “Endogenous Growth Theory”, yang bertumpu pada “Human Capital Accumulation” (Paul Romer (1986,1994, 1996) dan Robert Lucas, (1988). Hal ini menceritakan pada kita bahwa paradigma yang masih kita gunakan telah bergeser jauh ke depan, oleh karena itu jangan kita berkutat pada paradigma yang sudah ditinggal lama (lebih dari 60 tahun) oleh para pakar ekonom di dunia.

Kedua, data kerusakan lingkungan di Provinsi Aceh sangat signifikan. Hal ini diperlihatkan oleh data bencana alam seperti banjir (134) dan tanah longsor (40) cukup tinggi di tahun 2009 dibandingkan pada tahun sebelumnya, yaitu banjir (46) dan tanah longsor (8) pada tahun 2007. Kondisi ini diakibatkan oleh hutan Aceh yang mengalami perambahan seluas 914.222 Ha atau 32.657 Ha per tahunnya selama 1998-2008, sehingga hutan Aceh yang tersisa seluas 3.3 juta Ha (Walhi, 2010). Kerusakan lingkungan yang akut tersebut mencerminkan pertumbuhan ekonomi Aceh jika dinilai secara riil pada tahun 2011 mungkin hanya berkisar angka 1% atau -% (Green Economic Growth).

Ketiga, data realisasi investasi di Provinsi Aceh sangat menyedihkan sekali, baik realisasi PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri). Tahun 2007, realisasi PMA mencapai 17.4 juta US$ dan tahun 2009 menurun tajam mencapai 0.40 juta US$. Sedangkan tahun 2003-2006 dan 2008, nihil. Realisasi PMDN mencapai 108.20 Milliar Rupiah pada tahun 2005 dan 79.70 Milliar Rupiah pada tahun 2009. Sedangkan tahun 2003-2004 dan juga 2006-2008, nihil (BPS Indonesia, 2009).

Rendahnya realisasi investasi PMA dan PMDN, memperlihatkan kinerja pemerintah daerah di dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi dari pihak swasta sangat minim seakali. Dilain pihak, DIPA Aceh 2007-2011, di atas 14 Triliun per tahunnya (Serambi Indonesia, 29 Desember 2010). Implisitnya, perekonomian Aceh sangat tergantung dari dana pemerintah daerah (investasi pemerintah), bukan bertumpu pada investasi swasta.

Besarnya investasi pemerintah dibandingkan keberadaan investasi swasta, diindikasikan perekonomian Aceh memiliki nuansa “crowding out” dan ini akan melahirkan “demand-full inflation”. Penyakit ekonomi ini akan semakin parah, jika anggaran pemerintah diinvestasikan tidak berdaya guna dan tepat guna seperti proyek “drainase primitif” (Serambi Indonesia, 23 Desember 2010), dan proyek-proyek primitif lainnya, apalagi proyek fiktif (Serambi Indonesia, 6 Januari 2011).

Jika diasumsikan anggaran pemerintah yang ditujukan pada aktivitas-aktivitas publik (proyek publik) bernuasa efisien, maka pemerintah daerah akan menghasilkan “output” dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan (adanya time lag dari investasi pemerintah tersebut). Namun, situasi sebaliknya (tidak effisien), akan memberikan dampak negatif yang cukup besar bagi perekonomian daerah. Situasi ini memberikan angka ICOR Aceh akan lebih besar dari 4,64 (Serambi Indonesia, 5 Januari 2011) dan sekaligus memperlihatkan kinerja investasi pemerintah daerah Aceh benar-benar tidak effisien. Sebenarnya, ukuran ICOR juga merupakan produk lama dari Roy F. Harrod (1939) dan Evsey D. Domar (1946), yang lebih dikenal dengan Harrod-Domar’s growth theory.

Selanjutnya, pertanyaan krusial perlu dijawab sesegera mungkin adalah bagaimana mencapai pertumbuhan ekonomi riil dan berdimensi income distribution? Jawabannya sangat sederhana, namun sulit untuk dilaksanakan (kecuali a real planner) adalah bangunlah “perencanaan pembangunan (Development Planning) yang berdimensi waktu”.

Ironis memang, jika kata “perencanaan pembangunan” dilontarkan ke permukaan, maka semua orang, termasuk “pakar” warung kopi, akan membicarakan perencanaan pembangunan. Seolah-seolah pembuatan perencanaan pembangunan dapat dilakukan oleh semua orang dengan hanya duduk di atas meja atau hanya baca koran atau menuruti keinginan politis saja. Jika hal ini masih terus melekat dalam benak para pemangku jabatan pemerintah daerah yang terkait, maka pada akhirnya akan melahirkan perencanaan pembangunan primitif pula.

Contoh realita, pada bulan April 2010 dalam Tabloid Tabangun Aceh-Edisi ke 3, terlontar isu dalam sebuah Workshop Pengembangan UKM Aceh “Perlu Keterkaitan Antar Sektor Dalam Membangun Aceh”, untuk menuju pada Aceh Vision 2025 dan dihadiri oleh stakeholders di Aceh (Biro Ekonomi Sekretariat Daerah Aceh, Dinar-dinas terkait, Bank Dunia, Kadin, UNDP (APED) dan sejumlah negara donor lainnya). Masyarakat Aceh menunggu akan isu tersebut menjadi kenyataan. Namun sayang, hampir setahun sudah, isu tersebut belum juga terealisasikan, tapi hanya sebatas wacana belaka (No Action Talk Only), akhirnya perencanaan pembangunan Aceh berpijak pada konsep pembangunan primitif lagi. Apakah mereka perencana? Padahal, isu tersebut telah dikumandangkan pada tahun 1958 oleh Hirschman dan saat masih dijadikan acuan di dalam memformulasikan perencanaan pembangunan.

Saya berpikir sudah saatnya kita memahami dan bertindak dengan slogan “The Right Man on The Right Place”, sebuah pernyataan bijaksana yang sangat kental dipanuti oleh negara-negara maju. Aceh mau maju? Ubahlah paradigma primitif dan perencanaan pembangunan primitif, dengan konsep bijaksana (The Right Man on The Right Place). Implisitnya, an economic development planner is an economic development planner (seorang perencana pembangunan ekonomi adalah tetap seorang perencana pembangunan ekonomi),tidak bisa digantikan perannya dengan peran lainnya.

Oleh karena itu, Aceh harus cepat memulai babak baru dalam pembangunan ekonomi Aceh dengan mengubah paradigma primitif dan akhirnya mengubah pula perencanaan primitif. Jika tidak, maka akan semakin banyak pejabat-pejabat pemerintah daerah (dengan paradigma primitif dan perencanaan primitif) yang terus bergelimang dengan kata-kata retorika, yang sedap didengar hanya sesaat.

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

STATUS ACHEH DALAM NKRI

Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976

Brujuk Pasukan Din Minimi Ditembak Selepas Minta Ampun !