Keunikan dan Pesona Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Wajib Dikunjungi

Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Kaya Akan Warisan Budaya dan Alam Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia, dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah." Provinsi ini bukan hanya kaya akan sejarah Islam, tetapi juga menawarkan keindahan alam yang memukau dan tradisi budaya yang kuat. Aceh adalah destinasi yang sempurna untuk kamu yang mencari pengalaman wisata yang unik sekaligus mempelajari sejarah panjang Indonesia. 1. Sejarah dan Peran Islam di Aceh Aceh memiliki sejarah panjang sebagai pintu masuk Islam di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai di Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Karena itulah Aceh dijuluki Serambi Mekah, sebagai simbol peran pentingnya dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Hingga saat ini, adat istiadat dan hukum syariah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh menjadi ikon utama yang sering dikunjungi wisatawan. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempa...

Menggugat Wali di Nanggroe tanpa Sultan

WACANA Wali Nanggroe makin hangat diperbincangkan. Namun banyak yang tak memahami secara massif duduk persoalannya. Semua kelompok seakan berlomba menafsirkan, memberi argumentasi bahkan memelintir atas sejarah dan konsep Wali Nanggroe dengan mengutip berbagai referensi dan ternyata belum mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar. Sementara, Rancangan Qanun (Raqan) Wali Nanggroe yang sudah disepakati dalam Rapat Paripurna V Masa Persidangan III menjadi Raqan usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (Serambi, 4/12/2010), dinilai cenderung tidak mengakomodir secara total atas kehendak semua rakyat Aceh. Bagaimana sebenarnya historia, format, fungsi dan peran Wali Nanggroe dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh tempo dulu yang diterapkan dalam sistem pemerintah Aceh sekarang? Kontras akan mengupas dalam laporan berikut ini.

Raqan Wali Nanggroe yang dirumuskan DPRA periode ini dalam banyak hal memiliki perbedaan-perbedaan mendasar dari Raqan Wali Nanggroe yang disusun DPRA periode sebelumnya (2004-2009). Terutama pada aspek wilayah (wewenang), cara pemilihan dan pengukuhan, dan masa jabatan. Dengan Raqan Wali Nanggroe saat ini, semangat “self-government” Aceh mulai berusaha mengambil ruang dalam tata kelembagaan pemerintahan, setelah sekian lama hanya bertahan pada isu pembagian wewenang antara pemerintah Aceh dan pemerintah Indonesia.

Tampaknya Raqan Wali Nanggroe kini merupakan deklarasi politik yang lebih lantang terkait eksistensi “pemerintahan sendiri” Aceh. Biasnya kemudian telah memunculkan pro-kontra. Ini ditandai adanya aksi ribuan masyarakat enam kabupaten (Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Kutecane, Singkil dan Subussalam), hari Senin (6/12) lalu, yang menolak Raqan tersebut.

Alasan mereka, Raqan Wali Nanggroe hasil DPRA (2009-2010) bertentangan denngan UUD 1945, UU No.11 Pemerintahan Aceh, Hak Azasi Manusia (HAM). Terutama wewenang lembaga wali nanggroe itu sudah melebihi kekuasaan dan kebijakan seorang presiden sebagai pimpinan tertinggi di NKRI dalam pengambil kebijakan.

Koordinator Aliasi Persatuan Masyarakat Bener Meriah, Iwan Kurnia dalam orasinya menegaskan, raqa wali naggroe Aceh itu merugikan rakyat Aceh, terutama masyarakat yang berada di enam kabupaten, karena itu bukanlah aspirasi dan keinginan dari segenap rakyat Aceh, melainkan keinginan politik. “Itu harus kita hentikan, kalau tidak kekayaan Aceh akan dikuasai atas nama `wali nanggroe’ terutama kekayaan yang berada di wilayah Aceh,” teriak mereka dalam aksi itu.

Keniscayaan Wali Nanggroe
“Wali Nanggroe suatu yang niscaya, bukan karena hasil dari MoU Helsinki tentang penandatanganan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia, tetapi memang sebagai kenyataan sejarah yang harus dijalankan,” ujar Tgk Ramli Adali, sejarawan dan penulis buku Aceh Moorderr (Aceh Gila), dalam diskusi publik yang diprakarsai Komunitas Panteue, Sabtu (11/12) kemarin.

Dalam diskusi yang dipandu Irwan Adabi, dan turut dihadiri Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibarim (cucu Sultan Aceh terakhir, Tgk Muhammad Alaidin Dausyah mendedah Wali Nanggroe dari perspektif sejarah, konsep, fungsi dan peran Wali Nanggroe dalam struktur pemerintah Kerajaan Aceh tempo dulu.

M Adli Abdullah (penghidmat sejarah dan adat Aceh, red) sebagai narasumber menyatakan bahwa lembaga “wali nanggroe” pernah ada di Aceh, namun tidak bersifat permanen. Istilah “wali” itu ada setelah Aceh dipimpin para Ratu Safiatuddin, sehingga membuat hebohkan Mesjidil Haram, yang tidak setuju atas kepemimpinan perempuan menjadi sultanah. “Maka saat itu Syeck Abdurrafuf Al-Singkili (wafat 1695) menjadi wali nanggroe,” paparnya.

Jabatan wali dalam sejarah pernah diemban sejumlah tokoh. Sebut saja Tuanku Hasyim bin Tuanku Abdul Kadir bin Tuanku Cut Zainal. Mereka pernah diangkat menjadi wali untuk kerajaan Aceh wilayah Sumatera Timur.

Ketika Sultan Ibrahim Mansursyah wafat, papar Adli Abdullah, semua tokoh masyarakat mengingingkan Tuanku Hasyim Banta Muda menjadi sultan Aceh (1870). Namun sosok yang wara’ ini menolaknya. Alasannya, dia tidak berhak karena masih ada pewaris kerajaan. Saat itu diangkatlah Sultan Mahmudsyah yang hanya memerintah selama empat tahun (wafat 1874 akibat penyakit kolera).

Sejak itu pula di Kerajaan Aceh terjadi kevakuman kekuasaan sampai tahun 1878, sehingga para tokoh Aceh sepakat mengangkat kembali Tuanku Hasyim Banta Muda sebagai Sultan. “Lagi-lagi beliau menolaknya dengan alasan bahwa masih keturunan raja Aceh, yaitu Tuanku Muhammad Daudsyah yang saat itu masih kanak-kanak (12 tahun).”

Tuwanku Hasyim hanya bersedia menjadi wali sampai Sultan dewasa. Maka Sultan Muhammad Daudsyah secara resmi diadatkan (dikukuhkan) menjadi Raja yang berlangsung di Masjid Indra Puri. “Catatan sejarah, bahwa dalam daftar Piagam Batee Kureng, sama sekali tidak ada nama Tgk. Hasan Tiro, kecuali Tengku Zainal Abidin Muhammad Tiro dan Tengku Umar Tiro,” ujar M Adli.

Selain itu, dalam sejarah Aceh, dikenal “cap sikureung” yang menjadi simbol kerajaan Aceh. Ini pernah diberikan kepada Tgk. Chik di Tiro. Setelah Tgk Chik di Tiro wafat tahun 1891, ternyata diserahkan kepada Habib Samalanga (Reid, 2005: 275). Nah, apakah keturunan Habib ini juga bisa digelari sebagai Wali Nanggroe?

Menurutnya, seorang Wali dipilih dan dilegitimasi, sehingga ia berhak mengunakan “cap sikureung”. Cap Sikureung adalah simbol pemerintahan kerajaan Aceh yang pengaruhnya sangat luar biasa bagi siapa pun yang memiliki stempel kerajaan Aceh tersebut. Kenyataan sejarah pula, bahwa pemimpin perang Aceh yang terakhir adalah adik Tgk. Mat Amin (wafat 1896) yang bernama Tgk. Di Tungkeb alias Tgk. Beb (Ibrahim Alfian, 1987: 161).

Jabatan wali sendiri, menurut Tgk Ramli Adali, memiliki posisi mulia setingkat maqam aulia. Sebab, Wali merupakan seorang pelindung atau penolong bagi suatu kaum. Mereka dikenal wara’ dan dekat dengan Allah dan memiliki kekeramatan (karamah al-auwliya) yang amat luar biasa. Dua hal inilah yang pernah dimiliki oleh Tgk. Hasyim Banta Muda atau Tgk Chik di Tiro dengan semangat jihadnya. Karena itu, menurut sejarah pula, bumi Aceh adalah tanoh aulia (tanah para wali).

Jadi, katanya, gelar Wali bukan hanya gelar adat dan budaya tapi juga gelar keagamaan. dimana mereka terkadang menjadi penasihat Raja atau menjadi pemegang otoritas keagamaan yang paling tinggi.”Jadi jabatan Wali Nanggroe itu jangan sebatas simbol belaka. Seorang “wali” harus memiliki derajat kearifan lebih tinggi dalam masyarakat tempatan,” paparnya.

T.A. Sakti, dosen FKIP Unsyiah juga pakar aksara yang diwawancarai Kontras, mengatakan, keberadaan Wali Nanggroe itu dapat dikaji dengan merujuk pada sejumlah manuskrip (naskah-naskah lama) Aceh. Pertama, dalam naskah Adat Meukuta Alam. Naskah ini adalah Hukum Dasar atau Konstitusi Tertulis Kerajaan Aceh Darussalam, yang konon dipakai sejak Sultan Iskandarmuda. Selanjutnya direvisi oleh para sultan Aceh kemudian.

Dia mengutip lima manuskrip Aceh, yang berhasil disalinnya ke dalam huruf Latin selama 15 tahun terakhir. Ternyata, tidak satu naskah pun yang menyebut lembaga “Wali Nanggroe”. Yang ada istilah “Peutua Nanggroe”. Ini dapat ditemukan dalam hikayat Malem Dagang. Ketika perjalanan lewat darat sultan Iskandar Muda ke Peusangan, beliau bertanya kepada pemimpin masyarakat di sana;

//Padum na kapai di gata sinoe/ Tapeugah bak kamoe sigra-sigra /kapai tuanku lah ka neu tanyong/ kapai limong di sinoe nyang na/ Kricit narit Peutua Nanggroe/ ureueng mat sagoe muhon bak raja/ Ampon tuanku cahi ‘alam/ seumah laman duli sarpada/ Kamoe bek neuba bak prang timu/ Bek unoe juho prang Malaka/ Kamoe tuanku sinoe neu keubah/ Meudrop-drop gajah keupo meukuta//

Disebutkan, dalam buku Adat Meukuta Alam yang disusun Tuwanku Abdul Jalil (terbitan Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, 1991), hanya tersebut beberapa jabatan pemerintahan, yaitu Sultan, Kadli Malikul Adil, Raja Udah na Lela, Panglima Paduka Sinara, Sri Maharaja Indra Laksamana, Panglima Sagi, Orang Kaya Sri Maharaja Lela, Hulubalang Rama Setia, Teuku Panglima Mesjid Raya, Bentara, Datu, Imum Mukim, Keujruen, Kechik.

Demikian pula dalam Hikayat Malem Dagang, yang menceritakan perjalanan Sultan Iskandarmuda beserta pasukannya untuk menyerang Raja Si Ujut-lambang Portugis- ke Malaka. Iskandarmuda bersama sebagian pasukan berangkat lewat darat ke pantai timur Aceh. Sedangkan sebagian lainnya berangkat melalui laut di bawah komando Kapal Cakra Donya. Pada bagian akhir Hikayat ini tertera tahun 1309 H (belum diketahui apakah tahun penulisannya atau tahun naskah itu disalin ulang), hanya dijumpai beberapa nama jabatan pemerintah/istana, yaitu Bujang, Teungku Pakeh, Maharaja Indra, (Panglima Pidie), Ja Ulama/ Ja Madinah (Meureudu), Maharaja (Samalanga), Panglima, Tandi, Geusyik, Waki dan Peutua Nanggroe.

Hikayat Akhbarul Karim, dikarang Teungku Seumatang menjelang Belanda menyerang Aceh tahun 1873. Isinya mencakup segala bidang agama Islam. Menurut kitab ini, seseorang memang telah ditentukan pangkatnya. Dalam kutipan berikut ini akan dijumpai beberapa jabatan yang sudah ‘diadatkan’ dikehendak Tuhan kepada seseorang, yaitu; Nyang keu Nabi han keu umat/ Nyang keu rakyat hankeu raja/ Nyang keu Geusyik han keu Waki /Nyang keu Tandi han Bentara. Raja, Geusyik, Waki, Tandi dan Bentara adalah jabatan-jabatan pemerintahan masa kerajaan Aceh Darussalam.

Hikayat Abunawah. Isinya mengeritik pemerintahan Baghdad. Jabatan-jabatan pemerintahan yang dijumpai di dalamnya adalah Khalifah, Mentroe, Raja, Peurdana Meuntroe, Wazi, Uleebalang, Bentara, Datu dan Bujang. Demikian pula dalam Tazkirat Thabaqat. Naskah yang mengulas struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam; sejak level Geusyik sampai Sultan. Pertama ditulis pada masa Sultan ‘Alaiddin Mahmud Alqahar (sebelum Sultan Iskandar Muda). Terakhir disalin Sayid Abdullah alias Teungku Di Mulek pada masa Sultan Ibrahim Mansur Syah tahun 1270 H. Ditulis jabatan pemerintahan, yaitu Sultan, Raja, Mangkubumi, Mufti, Perdana Menteri, Kadli Malikul Adil, Menteri, Raja Mudasyah Bandar, Hulubalang, Tandi Kawal, Panglima Laot, Panglima Meugoe, Kuejruen Blang, Keuchik, Waki Keuchik, Teungku Sagoe, empat orang wakil Teungku Sagoe dan Tuha Peuet.

TA Sakti menyimpulkan bahwa jabatan “Wali Nanggroe”, bukanlah produk lembaga politik masa Kerajaan Aceh Darussalam, tetapi hanya produk sejarah Aceh kontemporer. Hal ini hanya dijumpai dalam buku “Tgk. M. Daud Beureu-eh; Peranannya dalam Pergolakan di Aceh” yang ditulis M. Nur El Ibrahimy, terdapat enam buah lampiran yang menyebut jabatan Wali Negara. Semua surat-surat/seruan/pengumuman atas nama Wali Negara itu ditandatangani oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh.”

Format Wali Nanggroe
Lembaga Wali Nanggroe sebagai produk menyusul kesepakatan damai (MoU) RI-GAM yang kini telah ditindaklanjuti ke dalam UU Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Kemudian UUPA, pasal 96 ayat (1) dijelaskan, lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara adat lainnya, perlu dikomperasikan dengan aspek yang sesuai dengan kebutuhan rakyat Aceh

Nah, jika Wali Nanggroe Aceh ditafsirkan sebagai pengatur adat, maka apa yang sekarang ditafsirkan kalangan DPRA, sangat keliru karena lebih cenderung kepada pengatur politik pemerintahan. “Jika Raqan yang dilihat dari materi tentang fungsi, kedudukan dan kewenangannya sebagai penguasa adat, seharusnya Qanun ini lebih bijaksana. Sebab, di Aceh sudah ada MAA (Majelis Adat Aceh),” usul soerang peserta dalam diskusi Panteue, Sabtu (11/12).

Budayaan Barlian AW, memandang perumusan konsep Wali Nanggroe saat ini tidak bisa dilepaskan dari empat aspek mendasar yaitu; aspek sejarah, sosiologis, politik dan komperatif. Aspek sejarah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan eksistensi lembaga ini dalam sistem pemerintahan Aceh masa lalu dan bagaimana peran-peran yang dimainkan.

Aspek sosiologis, menurut Barlian, konsep wali nanggroe harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat kontemporer terutama terkait dengan hilangnya identitas orang Aceh dalam membangun negerinya. Sedangkan dari aspek politik, lembaga ini ada karena konsensus politik antara GAM dan RI.

Jadi, sangat diharuskan konsep yang dihasilkan tentang rumusan lembaga ini harus memuaskan kedua belak pihak, lebih khususnya qanun wali nanggroe nantinya harus merujuk kepada UUD 1945 dan UU pemerintahan Aceh 2006 serta peraturan perundangan lain yang ada di Indonesia. “Jika hal ini diabaikan maka membuat Qanun Wali Nanggroe ibarat menegakkan benang basah,” katanya.

Dari aspek komperatif mengharuskan rakyat Aceh terutama para perumus draf untuk belajar dari wilayah atau negara-negara lain di dunia tentang lembaga wali nanggroe. Banyak contoh bisa diambil sebagai identitas masyarakat dan bangsanya. “Mungkin kita bisa belajar dari Sultan di Yogyakarta, dari Sabah di Malaysia, dari Raja di Thailand atau Ratu Elizabeth di Britania Raya,” paparnya. Hal senada dipaparkan M Adli Abdullah, jika sebelumnya rancangan qanun Wali Nanggroe sebagaimana poin ketujuh dari butir pertama MoU Helsinki yang menyebutkan “Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.” Artinya, posisi lembaga itu hanya diposisikan sebagai bagian dari kebudayaan dan tradisi masyarakat Aceh. Namun, dalam Raqan baru diberikan power, seperti berhak memberhentikan kepemimpinan formal setingkat gubernur.

Raqan Wali Nanggroe yang dirumuskan DPRA periode ini, papar Adli, dalam banyak hal memiliki perbedaan-perbedaan mendasar dari Raqan Wali Nanggroe yang disusun DPRA periode sebelumnya (2004-2009). Terutama pada aspek wilayah (wewenang), cara pemilihan dan pengukuhan, dan masa jabatan. Dengan Raqan Wali Nanggroe saat ini, mulai berusaha mengambil ruang dalam tata kelembagaan pemerintahan.

Jika dalam Undang-undang no.18 tahun 2001 memberikan Aceh kesempatan memiliki sistem pemerintahan yang berbeda yang terbatas pada level Mukim dan Gampong, MoU Helsinki dan UUPA no.11 tahun 2006 telah memberi kesempatan lebih yang memungkinkan Aceh mengembangkan konsep pemerintahannya sendiri, yang berbeda dari sebelumnya dan dari provinsi lain. Pada level Aceh, maka celah inilah yang tampaknya digunakan DPRA mendudukan “Wali Nanggroe” sebagai lembaga pemerintahan tertinggi di Aceh.

Disebutkan, “Wali Nanggroe adalah penguasa pemerintahan Aceh (dalam adat) yang berkedudukan lebih tinggi dalam tatanan pemerintahan Aceh, lebih tinggi dari Kepala Pemerintah dan Parlemen Aceh dan menjadi figur pemersatu rakyat Aceh (Ketentuan Umum, Pasal 1)”. Kedudukannya yang lebih tinggi dipertegas oleh 16 wewenang Wali Nanggroe yang di antaranya berhak membubarkan Parlemen Aceh dalam situasi kekacauan dan berwewenang memberhentikan/menonaktifkan Gubernur atau nama lainnya dalam situasi tertentu (Pasal 5 ayat 2). Selain kekuasaan politik Wali Nanggroe demikian besar, penunjukan Malik Mahmud sebagai Waliulahdi yang akan dilantik menjadi Wali Nanggroe setelah Dr. Hasan Muhammad, tata cara pemilihan Wali Nanggroe berikutnya melalui mekanisme penunjukan oleh Wali Nanggroe sebelumnya, dan masa jabatan seumur hidup.

Menurut Adli Abdullah, rumusan Raqan tersebut cenderung menimbulkan krusial dan memelintir esensi sejarah. Karenanya perlu hearing publik dengan melibatkan berbagai pakar dan sejarawan sehingga lembaga “Wali Nanggroe” diletakkan dalam format yang benar bukan sebatas kepentingan kekuasaan, atau hanya sebuah lembaga adat dan budaya sebagaimana yang diterjemahkan saat ini.

Namun bila jabatan Wali Nanggroe sebagai amanah MoU dan UUPA, maka wewenang dan kekuasaan itu harus diserahkan kepada yang berhak memiliki-dalam hal ini Sultan dan keturunannya. “Sultan Aceh terakhir adalah Muhammad Daudsyah yang diadatkan (dikukuhkan) menjadi Raja yang berlangsung di Masjid Indra Puri. Sekarang ini masih ada keturunan yang hidup, di antaranya Tuwanku Raja Yusuf (cucu Sultan)” paparnya.

Dalam kajian politik Aceh masa lalu, yang berlandaskan syariat Islam, orang-orang yang dilekatkan menjadi “wali”, menurut Affan Ramli (opini Serambi, 9/12/2010), lebih dekat pada otoritas pemilik ilmu hikmah (wilayatul hakim). Ini dikenal dengan “Tuha” atau dipeutuha, yaitu orang-orang yang memiliki sebagian dari ilmu hikmah dengan derajat tertentu dan dipraktikan secara konsisten dalam kehidupan mereka. Karenanya yang dipeutuha memiliki derajat lebih tinggi kearifannya.

Premis-premis itu yang dulu dipahami baik dalam sistem pemerintahan adat di gampong-gampong dan mukim-mukim Aceh, sehingga tuha-tuha gampong dan mukim dipilih secara ketat. “Kriteria wali nanggroe yang sekarang ditafsir dalam Raqan Wali Nanggroe produk DPRA, terlihat tidak bersesuaian. Seperti, pengusulan Malek Mahmud menjadi “waliul `ahdi”. Juga pengkatan Wali Nanggroe tidak menggunakan mekanisme pemilihan oleh rakyat, tetapi diwariskan turun temurun kepada orang terdekat,” paparnya.

Seharusnya Wali Nanggroe dipilih oleh tuha-tuha nanggroe Aceh. Dan tuha-tuha nanggroe dipilih oleh pemangku-pemangku adat dalam wilayah Mukim dan Gampong. Minimal dipilih oleh para Imum Mukim seluruh Aceh. Tuha-tuha nanggroe harus mewakili delapan wilayah adat mengikut etnik-etnik Aceh, Aneuk Jamee, Kluet, Gayo dan sebagainya. Sehingga jabatan Wali Nangroe benar-benar akan dipangku oleh tokoh paling arif yang akan menjadi simbol pemersatu Aceh karena dipilih oleh orang-orang arif (tuha-tuha) dan para pemangku adat di seluruh Aceh.

Menurut Affan Ramli, bila Wali Nanggroe diangkat dari kalangan politisi seperti Malek Mahmud, maka tidak akan pernah menjadi figur pemersatu Aceh. Politisi pada watak alaminya diterima oleh sebagian masyarakat dan ditolak oleh sebagian lainnya.

Materi draf Qanun Wali Nanggroe yang telah dibuat dan sudah disampaikan dalam sidang paripurna untuk dijadikan usul inisiatif anggota DPRA itu, menurut Jubir Inisiator Penyusunan Draf Nasruddinsyah SH, seusai Sidang Paripurna IV Masa Persidangan IV di Gedung DPRA, Kamis (2/12) lalu, memang masih memerlukan pembahasan lanjutan dalam forum sidang dewan.

Gubernur Irwandi Yusuf dalam siding Paripurna itu, sudah memberikan pendapat dan saran. Ia inginkan agar dalam penyusunan Raqan LWN itu benar-benar mengacu kepada Pasal 96 UUPA. Namun Sekjen Forum LSM Aceh, Sudarman, mengkritisi jika proses legislasi (pembuatan aturan) di DPRA selama ini tidak terbuka ruang partisipasi publik, terutama tentang Raqan LWN yang hendak diparipurnakan atau disahkan.

Dalam undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jelas disebutkan pada BAB XII perihal lembaga wali nanggroe yaitu pasal 96 ayat 1, lembaga wali nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.

Kemudian dijelaskan lagi pada ayat 2, lembaga wali nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh. Sedangkan pada ayat 3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Begitu juga mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan dan ketentuan lainnya diatur dengan Qanun Aceh. “Ini yang seharusnya dijadikan dasar membuat rancangan,” tegas Nurdin Darwis seraya mengingatkan bila Raqan ini dipaksakan akan berdampak buruk bagi kedamaian Aceh.

Lepas dari masih banyaknya pro-kontra bahkan resisten atas Raqan Wali Nanggroe yang saat ini sedang dibahas legislatif, Jubir Partai Aceh, Adnan Beuransyah, kepada wartawan menyatakan tidak perlu ada kecurigaan yang berlebihan. Jika nantinya Qanun Wali Nanggroe disahkan, tentu tidak akan keluar dari bingkai NKRI seperti yang diamanahkan dalam MoU. “Kebijakan-kebijakan akan diambil tidak melangkahi enam poin yang tersebut dalam MoU, yaitu militer, polisi, pengadilan, mata uang, kebijakan luar negeri, dan kebebasan beragama. Keenam poin tersebut Aceh tetap berada di bawah RI,” papar Adnan Beuransah.

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

STATUS ACHEH DALAM NKRI

Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976

Brujuk Pasukan Din Minimi Ditembak Selepas Minta Ampun !