Keunikan dan Pesona Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Wajib Dikunjungi

Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Kaya Akan Warisan Budaya dan Alam Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia, dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah." Provinsi ini bukan hanya kaya akan sejarah Islam, tetapi juga menawarkan keindahan alam yang memukau dan tradisi budaya yang kuat. Aceh adalah destinasi yang sempurna untuk kamu yang mencari pengalaman wisata yang unik sekaligus mempelajari sejarah panjang Indonesia. 1. Sejarah dan Peran Islam di Aceh Aceh memiliki sejarah panjang sebagai pintu masuk Islam di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai di Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Karena itulah Aceh dijuluki Serambi Mekah, sebagai simbol peran pentingnya dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Hingga saat ini, adat istiadat dan hukum syariah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh menjadi ikon utama yang sering dikunjungi wisatawan. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempa...

Laksamana Keumalahayati komandan pasukan wanita pertama dunia

Aceh merupakan pintu gerbang bagi Indonesia karena mempunyai kedudukan geografis yang sangat strategis di wilayah Indonesia bagian Barat sejak dulu. Karena posisinya ini, Aceh didatangi banyak bangsa asing dengan bermacam-macam kepentingan mulai dan kepentingan ekonomi, perdagangan, diplomasi politik sampai penyiaran budaya dan agama.
Di satu sisi kedatangan mereka membawa dampak positif bagi kepentingan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Namun di sisi lain, sebagian dan mereka melakukan tindakan jahat yang dimotivasi kolonialisme dan imperialisme baik di Aceh sendiri maupun wilayah-wilayah sekitarnya.
Sebagai reaksi dari tindakan pihak asing yang merugikan, pihak Aceh melakukan perlawanan dalam rangka mempertahankan harkat dan martabatnya.
Bangsa asing yang pertama kali datang ke Aceh dan wilayah sekitarnya dengan melakukan tindakan negatif adalah
Portugis pada abad XVI. Portugis merebut kota Malaka dan tangan-tangan orang Islam pada tahun 1511. Di samping itu, Portugis juga melakukan intervensi ke kerajaan-kerajaan di sekitar Malaka.
Tindakan Portugis yang semena-mena ini memancing konflik dengan Aceh yang pada saat itu telah tumbuh berkembang menjadi kerajaan yang besar dan mengganti peran Malaka yang telah ditundukkan Portugis.
Dengan mempertimbangkan posisinya yang semakin kuat, Aceh mencoba membebaskan kawasan selat Malaka dan anasir asing yang akan merugikan kepentingan ekonomi dan politik kawasan ini. Aceh melakukan perlawanan terhadap Portugis karena Portugis dinilai menjadi agressor dan merusak keharmonisan yang telah berlangsung berabad-abad di kawasan selat Malaka.
Konflik Aceh dengan Portugis berlangsung lama sekali mulai dan abad XVI sampai abad XVII. Dalam suasana konflik ini muncullah pejuang dan tokoh penting yang memperjuangkan kepentingan masing-masing pihak. Di pihak Aceh, Laksamana Keumalahayati (Malahayati atau Hayati) adalah salah satu pejuang yang mempertahankan harkat dan martabat bangsanya melawan Portugis pada masanya.
Keumalahayati diberi gelar laksamana (admiral) karena jasanya dalam mengawal kepentingan Aceh di lautan di masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) atau yang sening disebut Sultan Al Mukammil.
Sebelum diangkat menjadi laksamana, Keumatahayati meniti karir sebagai komandan pasukan wanita dengan tugas sebagai pengawal istana sekaligus intelijen kerajaan dan tugas ini dijalankan dengan sukses. Karena keberhasilannya ini Sultan mempercayainya untuk mengemban tugas memimpin pasukan angkatan taut dengan pangkat laksamana.
Tugas sebagai panglima angkatan laut bagi Keumalahayati bukan hal yang asing karena ayahnya sendiri, yang bernama Mahmud Syah, adalah seorang Laksamana. Demikian juga kakeknya. Muhammad Said Syah putera Sultan Salahuddin Syah yang memerintah pada tahun 1530-1539 M, adalah seorang laksamana laut yang gagah perkasa. Sultan Salahuddin Syah adalah putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri kerjaan Aceh Darussalam.
Laksamana Keumalahayati memegang peranan penting di Aceh Darussalam pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammil yang memerintah mulai tahun 1589 sampai 1604 M. Sayid Mukammil diangkat menjadi Sultan dalam usia lanjut dan mempunyai banyak pengalaman karena sebelum diangkat menjadi Sultan. Sayid Mukammil pernah menjalani banyak profesi mulai dan menjadi nelayan, peternak, pengasuh putera raja, dan panglima perang dengan gelar laksamana.
Menurut sebagian keterangan, Sultan Sayid Mukammil lebih percaya pada wanita dalam pengamanan kerajaan. Untuk mengawal istana, Ia merekrut 40 perempuan yang dipimpin oleh Laksamana Keumalahayati. Alasan dipilihnya Keumalahayati adalah karena ia seorang perempuan yang bijak, tangkas, dan berakhlak mulia. Di samping menjadi kepala pasukan pengamanan istana, Ia juga diangkat menjadi penasihat kerajaan sementara jabatan ketua dinas rahasia (secret servicer geheimraad) diserahkan kepada Cut Limpah.
Pada saat Keumalahayati menjadi Laksamana, komoditas ekonomi yang dihasilkan bumi dan laut Aceh dan daerah-daerah Semenanjung Melayu sangat melimpah ruah sehingga banyak digemari bangsa Barat seperti Belanda, Portugis, dan Inggris. Di antara komoditas andalan Aceh adalah lada dan rempah-rempah. Aceh sebenarnya terbuka untuk bekerja sama dengan mereka, tetapi sayang bangsa-bangsa Barat rakus dan ingin menguasai komoditas yang bukan hak mereka dengan berbagai cara mulai dan trik halus seperti membuat perjanjian dagang sampai yang paling kasar menyerang Aceh.
Pada saat itu, Aceh telah menggunakan uang resmi yang digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan antar bangsa. Mata uang yang berbedar saat itu adalah ringgit dan dirham Aceh, rial cap meriam Portugis, ringgit cap matahari Jepang dan ringgit cap tongkat lnggeris. Uang yang diterbitkan Aceh terbuat dari tembaga, perak dan emas. Untuk menerbitkan uang ini, Aceh secara khusus mengundang ahli emas dan India dan ditempatkan di Kampung Pandee.
Namun demikian, dengan keahilan militer dan diplomasinya, Laksamana Keumalahayati mampu menyelamatkan Aceh dari jebakan yang telah disiapkan bangsa kolonialis Barat sehingga semua aset ekonomi, politik, dan pertahanan Aceh bisa tetap dipertahankan. Hal ini karena ia tidak terjebak oleh kepentingan pribadi untuk memperkaya diri sendiri ataupun godaan kekuasaan menjadi penguasa Aceh walaupun Ia memiliki banyak kesempatan untuk melakukan itu.
Pada tanggal 21 Juni 1599 saudagar Belanda datang di Aceh, mereka menggunakan kapal De Leeuw dan De Leeuwin. Dua kapal itu di bawah kendali dua orang bersaudara yakni Cornelic De Houtman dan Frederick De Houtman. Setibanya di Aceh, keduanya disambut dengan baik oleh Sultan di istana. Kedatangan dua orang bersaudara ini berhasil memikat Sultan sehingga Belanda diizinkan untuk melakukan perdagangan dengan Aceh sekaligus diizinkan untuk membuka kantor dagang di Aceh.
Kerjasama ini dimanfaatkan Aceh untuk menyewa kapal-kapal Belanda yang akan digunakan untuk mengangkut pasukan ke Johor. Perjanjian sewa kapal itu ditandatangani tanggal 30 Juli 1599 dan direncanakan berangkat pada tanggal 11 September 1599. Namun sayang, menjelang keberangkatan pasukan Aceh ke Johor, pihak Belanda mengingkari perjanjian tersebut dan kapten kapal yang bernama J. Van. Hamskerek pun melarang pasukan Aceh naik ke atas kapal. Aceh tidak terima dengan perlakuan itu. Sebagian pasukan Aceh yang telah berada di atas kapal langsung marah dan mengamuk ketika Belanda menembaki beberapa pembesar Aceh yang masih berada di atas sampan termasuk kerabat sultan dan korban dan kedua belah pihak pun tidak bisa dihindari.
Pertempuran antara pasukan Aceh dan Belanda di laut dilaporkan ke Sultan dan didengar Keumalahayati yang saat itu menjadi Panglima Pengawal lstana. Saat itu juga, Keumalahayati memberi komando pasukannya untuk berkumpul dan mengepung kantor perwakilan dagang Belanda. Di darat pun terjadi tembak-menembak antara pasukan Belanda dan anak buah Keumalahayati. Dalam waktu singkat pasukan Keumalahayati berhasil membuat pasukan Belanda menyerah setelah sebagian besar tewas di tangan anak buah Keumalahayati. Namun ketika mereka hendak membakar kantor dan gudang Belanda, Sultan melarang dan atas komandan Keumalahayati rencana untuk membakar gedung itu batal dilakukan demi mentaati perintah Sultan.
Selesai menyelesaikan urusan di darat, Keumalahayati memerintahkan pasukannya bergerak ke laut mengejar Belanda. Dengan armada sampan dan perahu kecil mereka mengejar kapal Belanda yang ukurannya lebih besar. Untuk mempercepat laju kapalnya, Belanda membuang sauh agar kapal cepat melaju di laut dan bebas bergerak menghindari kejaran pasukan Keumalahayati menuju pulau Ceylon. Namun keduanya dapat dikejar dan akhirnya ditahan di Aceh.
Keberanian Keumalahayati membuahkan hasil. Ia dianugrahi gelar Laksamana karena keberhasilannya menyerang benteng dan pergudangan Belanda, mengejar dan menangkap Belanda. Gelar Laksamana semakin memicu perjuangan Keumalahayati melawan Belanda. Atas inisiatifnya, Ia mengusulkan agar dibentuk pasukan elite yang terdiri atas para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka termasuk suaminya sendiri. Pasukan elite khusus ini diberi nama dengan Angkatan Inong Bale dan bermarkas di Kuta Inong Bale (Banteng Wanita Janda).
Laksamana Keumalahayati tidak hanya lihai memimpin pasukan, tetapi juga pandai berdiplomasi. Ketika tiga kapal lnggris merapat di pantai Aceh sementara pada saat yang sama Sultan Alauddin Riayat Syah sedang melaksanakan arak-arakan ulang tahunnya yang diselenggarakan sekali setahun. Kedatangan kapal Inggris diketahui Sultan dan Sultan sendiri memaklumi kedatangan Inggris karena menurut sultan kerajaan Inggris yang saat itu dipimpin oleh seorang perempuan, yakni Ratu Elizabet tidak berlawanan dengan Aceh. Untuk itu, sultan memerintahkan Laksamana Keumalahayati untuk menyambut kedatangan orang-orang Inggris yang dipimpin oleh Sir James Lancaster.
Ketika menyambut utusan Inggris. Laksamana Keumalahayati melaksanakan semua instruksi sultan dalam rangka penyambutan utusan Inggris yang pada saat itu sedang bermusuhan dengan Portugis. Ini dilakukan karena Laksamana Keumalahayati berpendapat bahwa bersahabat dengan Inggris Aceh akan mempunyai kekuatan dan bergaining yang lebih tinggi sehingga bisa dimanfaatkan untuk menghadapi Portugis.
Namun demikian, sebelum acara penyambutan dilakukan, ia mengusulkan kepada Sultan agar motif kedatangan Inggris di Aceh diselidiki lebih dulu. Mengikuti saran Laksamana Keumalahayati, Sultan menyuruh Belanda yang pada saat itu markasnya tidak jauh dan masjid raya untuk menemui dan menanyakan maksud kedatangan Inggris. Penyelidikan harus dilakukan karena Aceh harus mempunyai pendirian yang kuat dan menentukan dirinya sendiri tanpa paksaaan dan pihak manapun terutama anasir asing karena Aceh adalah bangsa yang berdaulat atas wilayahnya baik di darat maupun di laut.
Sir James Lancaster dan para pengiringnya disambut dengan jamuan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah pada malam hari. Turut menghadiri jamuan malam itu adalah dua orang Belanda yang diperintahkan Sultan untuk menyelidiki maksud kedatangan sementara Sultan Alauddin Riayat Syah sendiri didampingi tiga puluh enam orang pembesar Aceh. Jamuan malam itu diisi dengan acara perkenalan dan ramah tamah serta pertunjukkan tari-tarian khas Aceh.
Setelah jamuan selesai, acara dilanjutkan dengan acara perundingan dan tamu yang lain meninggalkan ruangan balai istana kecuali Sultan, Keumalahayati, utusan dan Inggris dan dua orang Belanda.
Sultan Sayid Mukammil membuka surat dan Ratu Elizabeth yang dibawa oleh rombongan dan Inggris dan perjanjian bilateral tentang jual beli emas dan lada pun ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dan perjanjian tersebut ditandatangani setelah Inggris berjanji memberi kompensasi akan mengusir Portugis dan perairan Aceh.
Selama di Aceh, Laksamana Keumalahayati memberikan perlindungan penuh bagi utusan Inggris yang dipimpin oleh Sir Lancaster. Ini dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Keumalahayati di tempat penginapan Sir Lancaster pada sore hari setelah pagi harinya didatangi seorang utusan yang menyampaikan surat khusus dan Sultan Sayid Mukammil.
Kedatangan Laksamana Keumalahayati ke penginapan Sir Lancaster yang juga ditempati dua orang Belanda itu untuk memberi tanda mata berupa zamrud.
Di samping itu, Laksamana Keumalahayati juga membawa kabar penting tentang kedatangan 20 armada Portugis di Malaka dan akan ke perairan Aceh. Perempuan pemberani ini memberi saran kepada utusan Ratu Elizabeth agar segera meninggalkan Aceh untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Lancaster ingin tetap bertahan di Aceh namun Laksamana Keumalahayati meyakinkan bahwa Portugis akan menimbulkan bencana jika Lancaster tetap di Aceh karena Portugis juga mengincar perdagangan dengan Aceh terutama lada namun belum mendapatkan izin dan Sultan Sayid Mukammil. Bila Lancaster mau meninggalkan Aceh saat itu, Laksamana Keumalahayati berjanji akan menahan Portugis di perairan Aceh selama 10 hari agar tidak bisa mengejar utusan Ratu Elizabeth itu.
Setelah mendapat jaminan keamanan Laksamana Keumalahayati akhirnya Lancaster bersama rombongan meninggalkan Aceh pada malam itu juga untuk segera kembali ke Inggris..

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

STATUS ACHEH DALAM NKRI

Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976

SYARAT UNTUK DI TERIMA MENJADI TEUNTRA DAULAH ISLAMIYAH