Keunikan dan Pesona Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Wajib Dikunjungi

Aceh: Negeri Serambi Mekah yang Kaya Akan Warisan Budaya dan Alam Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia, dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah." Provinsi ini bukan hanya kaya akan sejarah Islam, tetapi juga menawarkan keindahan alam yang memukau dan tradisi budaya yang kuat. Aceh adalah destinasi yang sempurna untuk kamu yang mencari pengalaman wisata yang unik sekaligus mempelajari sejarah panjang Indonesia. 1. Sejarah dan Peran Islam di Aceh Aceh memiliki sejarah panjang sebagai pintu masuk Islam di Nusantara. Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai di Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Karena itulah Aceh dijuluki Serambi Mekah, sebagai simbol peran pentingnya dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Hingga saat ini, adat istiadat dan hukum syariah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh menjadi ikon utama yang sering dikunjungi wisatawan. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempa...

Cut Nyak Dien pahlawan wanita Aceh yang gagah berani

Di antara sekian banyak pejuang Indonesia yang menentang penjajahan Belanda, ada seorang nama pahlawan wanita yang gagah berani, dia adalah Cut Nyak Dien. Namanya terukir dengan tinta emas di sanubari rakyat Indonesia sebagai pahlawan wanita dari Aceh.

Ayahnya bernama Teuku Nanta Cik Setia Raja. Ibunya seorang puteri bangsawan (uleebalang) Lampagar yang gagah berani pada masa Sultan Alauddin Mansur Syah. Perkawinan Teuku Nanta Cik Setia Raja dikaruniai dua orang putera dan seorang puteri. Seorang puteranya mangkat dan seorang lagi bernama Cut Rayeuk, dan seorang puteri itu adalah Cut Dien yang lahir pada tahun 1850. Mendekati remaja, Cut Dien merupakan gadis belia Aceh yang sangat cantik, cerdas, tangkas, dan baik budi.
Pada suatu hari datanglah tamu dari Lamnga ke Lampadang. Tamu itu adalah utusan Teuku Ujung Aron Imam Lamnga (Teuku Abas) yang bertujuan meminang Cut Nyak Dien untuk disandingkan dengan Teuku Cik Ibrahim putera Teuku Abas. Pinangan diterima dan tak lama kemudian tepatnya pada tahun 1868 dilangsungkan pernikahan antara Cut Dien binti Teuku Nanta Cik Setia Raja Uleebalang 6 Mukim dan Teuku Ibrahim bin Teuku Abas.

Pada saat pernikahan dilangsungkan, umur Cut Dien belum baligh. Setelah pernikahan, Cut Dien dipanggil dengan Cut Nyak Dien.
Pepatah Jawa bilang, witing trisno jalaran soko kulino, begitulah yang terjadi pada Cut Nyak Dien dan Teuku Ibrahim. Waktu demi waktu dijalani mereka berdua dan timbullah cinta sejati di antara kedua insan yang sama-sama cerdas, tangkas, satria, dan cinta tanah air dan agamanya itu. Keduanya menjadi teman sehidup semati dan saling membantu dalam duka terutama ketika menghadapi Belanda. Dari perkawinannya dengan Teuku Ibrahim, Cut Nyak Dien dikaruniai seorang anak laki-laki.
Lima tahun setelah perkawinan mereka, tepatnya pada bulan April 1873, prahara bagi Aceh datang. Belanda mendarat di Aceh. seluruh lapisan rakyat Aceh bergegas menyongsong kedatangan Belanda dengan perlawanan sengit guna mempertahankan Aceh termasuk suami Cut Nyak Dien, Teuku Cik Ibrahim yang memimpin langsung rakyat Aceh menghadap gerakan pasukan Belanda. Pada saat itu, Cut Nyak Dien sedang menyusui anaknya yang masih dalam buaian sambil menyusui anaknya yang masih kecil, Cut Nyak Dien membisikkan semangat perjuangan agar anaknya cepat besar dan mengikuti jejak ayahnya membela bangsa dan agama.
Kebengisan Belanda dimulai dengan pembakaran masjid kebanggaan rakyat Aceh, Masjid Baiturrahman. Pada saat api menjulang ke angkasa disertai dengan asap hitam seluruh rakyat keluar dan menyelamatkan diri sambil merasakan sakit hati, geram, dan benci kepada Belanda.

Demikian juga Cut Nyak Dien, hatinya sangat marah dan tertusuk dalam. Tiba-tiba suaminya datang dengan membawa kabar gembira bahwa Belanda berhasil dihadang dan panglima Belanda yang bernama Jenderal Kohler tewas tertusuk senjata pasukan Aceh.
Namun tidak lama kemudian, ternyata Belanda tidak jera. Kali ini Belanda melakukan ekspedisi kedua dengan pasukan yang lebih besar dan dipersenjatai lengkap. Lebih dari 60 kapal merapat di pantai Kotaraja yang berisi 8.000 prajurit dengan senjata lengkap, 32 tenaga medis, 8 orang penunjuk jalan, 243 isteri, 150 tenaga ahli, 3 ahli agama (seorang ahli Islam, seorang Protestan, dan seorang lagi penganut Katholik), seorang Mediator bernama Mas Sumo Widikjo dibantu dua orang pembantu dan semuanya berada di bawah komando tertinggi Jenderal Van Swieten.

Mereka dibekali dengan senjata lengkap berupa 206 pucuk meriam, 22 pucuk mortir, 60 ekor kuda pengangkut, 80 sapi penarik barang, 3.280 orang pembantu, 300.000 ransum makanan, 12.000 meter rel kereta api, 186 perahu sekoci alias bot lengkap dengan dayung, empat rakit besi, dua buah perahu, dan 16 bangsal bambu.
Sementara itu di darat, pasukan Aceh yang gagah berani telah siap menghadang mereka. Di antara mereka ada Raja Pidie, Panglima Polem, Imam Longbata Uleebalang Bait, Uleebalang Nanta Setia, dan Teuku Ibrahim Lamnga.
Tepat pada tanggal 23 Desember 1873 Aceh bergemuruh karena suara meriam Belanda yang mengarah ke Lamnga. Satu demi satu daerah Aceh jatuh ke tangan Belanda namun pertahanan Aceh masih kokoh sehingga terpaksa Belanda minta bantuan lagi dari Jakarta.

Pada tanggal 9 Desember 1875 berusaha mendesak pertahanan Aceh dan bergerak dari Sembilan mukim menuju enam mukim. Teuku Ibrahim sebagai uleebalang enam mukim mempertahankan wilayahnya dengan sekuat tenaga namun kekuatan tidak seimbang dan terpaksa ia dan keluarganya (Cut Nyak Dien dan bayinya) harus meninggalkan kampung halamannya dan lari ke pedalaman guna menyusun kekuatan. sebagai isteri pejuang, Cut Nyak Dien tidak kecewa tetapi bangga mempunyai suami yang gagah berani mempertahankan agama dan tanah air dari serangan musuh kafir. Ia rela meninggalkan rumah dan harta benda lainnya karena habis tersapu oleh meriam Belanda. sambil menggendong dan menyusui anaknya, Cut Nyak Dien pergi kemanapun suaminya pergi bergerilya.
Dalam suatu penyergapan yang dilakukan Belanda, tepatnya di Gle Tarum, Teuku Ajai saudara Teuku Ibrahim tertembak dan gugur di medan perang. Teuku Ibrahim kemudian membawa jenazah saudaranya itu ke tempat yang aman untuk dikebumikan, namun musibah tak dapat dihindari, sebuah peluruh bersarang di kepala Teuku Ibrahim dan syahidlah ia di medan perang.
Cut Nyak Dien meneruskan perjuangan suaminya memimpin pasukan bergerilya dari satu tempat ke tempat lain sambil membawa anaknya. Dua tahun kemudian, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar. Pada saat menikah dengan Cut Nyak Dien, Teuku Umar telah mempunyai dua orang isteri yakni Cut Nyak Sapiah dan Cut Nyak Maligai. Perkawinan Cut Nyak Dien dengan Teuku Umar dikaruniai seorang puteri yakni Cut Nyak Gambang yang kemudian dinikahi oleh Teuku Dibuket putera Tengku Cik Di Tiro.
Setelah menikah dengan Teuku Umar, perjuangan Cut Nyak Dien melawan Belanda terasa mendapatkan semangat baru sementara bagi Teuku Umar, Cut Nyak Dien menjadi sumber api yang membakar semangat perjuangannya menumpas Belanda. Kerja sama dua insan berjuang menghadang Belanda selama 19 tahun mulai tahun 1880 sampai 1819.
Perjuangan yang ditempuh Cut Nyak Dien dan Teuku Umar tidak selamanya melawan Belanda. Suatu ketika mereka terpaksa harus melawan kaumnya sendiri yang bertindak lalim kepada kaumnya. Ini terjadi setelah Tengku Cik Di Tiro meniggal dunia karena diracun tahun 1891. Kepemimpinan Tengku Cik Di Tiro diteruskan oleh puteranya yang bernama Teuku Mait. Ternyata pasukan muslim yang dipimpin Teuku Mait beralih haluan. Mereka merampas harta benda dan membakar tempat tinggal rakyatnya sendiri. Korban pasukan Teuku Mait tidak hanya rakyat biasa, wilayah enam mukim yang menjadi tempat tinggal Cut Nyak Dien tidak luput dari kekejamannya. Atas pertimbangan Cut Nyak Dien, Teuku Umar kemudian menumpas pasukan Teuku Mait dan perang saudara pun tidak dapat dihindarkan.
Pasukan Teuku Umar tidak bisa mengimbangi kekuatan pasukan Teuku Mait. Sebagai jalan keluar, Teuku Umar terpaksa minta bantuan Belanda untuk menumpas pasukan Teuku Mait dan gayung pun bersambut karena Belanda juga berkepentingan untuk menjinakkan pasukan Teuku Umar yang selama ini menguras tenaga dan logistik Belanda namun tentunya dengan syarat tertentu. Untuk mendapatkan bantuan dari Belanda, Teuku Umar menggunakan taktik berpura-pura menyeberang ke Belanda.
Cut Nyak Dien sangat marah mendengar Teuku Umar berbalik membela Belanda. Tetapi, kemarahan Cut Nyak Dien sedikit mereda setelah menerima penjelasan langsung dari Teuku Umar bahwa tindakannya menyeberang ke Belanda semata-mata hanya taktik perang. Percaya dengan taktik tersebut, Belanda memberi fasilitas Teuku Umar berupa rumah besar di Kotaraja yang ditempatinya bernama Cut Nyak Dien selama tiga tahun.
Hati Cut Nyak Dien terus bergulat selama berada di Kotaraja. Teman seperjuangan Cut Nyak Dien yang bernama Tengku Fakinah terus mengingatkan Cut Nyak Dien agar tidakk terlena dengan fasilitas yang diberi Belanda dan segera menyadarkan Teuku Umar untuk kembali berjuang mengusir penjajah.
Atas desakan Cut Nyak Dien, Teuku Umar kembali berjuang mengangkat senjata. Pada tanggal 25 Mei 1896, dalam rangka melakukan perlawanan terhadap Belanda, Teuku Umar bermusyawarah di rumah Cut Nyak Dien di Lam Pisang yang dihadiri oleh Pang Nyak Neh, Kecik Bintang Lamieu, Teuku Lamieu, Pang Karim dan beberapa pendukung lainnya sementara Cut Nyak Dien mendengarkan di balik tirai. Rapat itu membicarakan apa yang akan dilaporkan ke Jenderal Deykerhoff dalam menghadapi rencana Belanda untuk menyerang Lam Kerak (markas pasukan wanita Aceh) dan strategi berjuang melawan Belanda seperti yang didesakkan Cut Nyak Dien.
Mendengar ada rencana menyerang Lam Kerak, Cut Nyak Dien langsung marah dan merengsek ke depan untuk menolak rencana itu. Setelah menyampaikan uneg-unegnya, Cut Nyak Dien kemudian kembali ke belakang. Rapat berjalan panas dan akhirnya diputuskan pasukan Teuku Umar tidak bekerja sama lagi dengan Belanda.
Rapat kemudian membuat keputusan untuk menyerang keraton yang dikuasai Belanda di Kotaraja dengan target membunuh gubernur Belanda. Tetapi, rencana itu dibocorkan salah satu peserta rapat yang bernama Kecik Umar. Tidak mau mengambil risiko, Belanda langsung menyerang pasukan Teuku Umar pada tanggal 11 Februari 1899. Dalam serangan mendadak yang dilakukan Belanda ini, Cut Nyak Dien kembali diuji mental perjuangannya karena Teuku Umar yang menjadi mitra perjuangannya selama kurang lebih 19 tahun Teuku Umar tewas sebagai syuhada di Ujung Kala, di tepi pantai Laut Meulaboh. Bagaimanapun, Cut Nyak Dien bangga karena suaminya Teuku Umar mangkat dalam posisi telah sadar dan kembali memperjuangkan agama dan tanah airnya.
Bagi Cut Nyak Dien, ditinggalkan suami tidak berarti perjuangan juga berhenti. Ia terus memimpin sendiri pasukannya melawan Belanda. Sebagai akibatnya, Cut Nyak Dien menjadi orang yang paling dicari Belanda selama enam tahun sejak ditinggal suaminya tahun 1899 sampai tahun 1895. Untuk menghindari kejaran Belanda, Cut Nyak Dien terpaksa harus berpindah-pindah dari satu hutan dan pegunungan ke hutan atau pegunungan lain. Karena terus dikejar Belanda kondis fisik Cut Nyak Dien menjadi menurun dan penglihatannya menjadi kabur.
Melihat pimpinannya dalam keadaan lemah dan sakit, salah satu anak buah Cut Nyak Dien yang bernama Pang Laot yang juga bekas teman Teuku Umar berinisiatif melaporkan persembunyian Cut Nyak Dien kepada Belanda dengan harapan penyakit Cut Nyak Dien bisa disembuhkan.
Mendengar informasi dari Pang Laot, Belanda langsung menindaklanjutinya. Pada tanggal 4 November 1905 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Van Vuuren mengepung tempat persembunyian Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien berusaha melawan Belanda dengan rencong di tangannya walaupun dalam keadaan lemah. Namun apa daya karena tubuhnya lemah, Cut Nyak Dien jatuh dan ditangkap pasukan Belanda lalu dibawa ke Kotaraja.

Mendengar pimpinannya ditahan di Kotaraja, rakyat terus mengalir ke Kotaraja menyampaikan simpati dan dukungan kepada Cut Nyak Dien. Untuk menghindari keadaan yang tidak diinginkan, pada tahun 1906 Letnan Jenderal Van Daalen memerintahkan pemindahan Cut Nyak Dien ke Sumedang, Jawa Barat. Di sini Belanda mencoba mengambil simpati Cut Nyak Dien dengan menyediakan seorang dokter yang bertugas menyembuhkan penyakit mata Cut Nyak Dien dan akhirnya penglihatannya berhasil dikembalikan. Di Sumedang, Cut Nyak Dien tinggal bersama keluarga K.H. Sanusi yang terletak di belakang Masjid Agung Sumedang. dan di tempat barunya itu Cut Nyak Dien mengajar Al-qur'an kepada penduduk setempat. Perempuan agung yang dipanggil lbu Perbu (ibu Ratu) oleh Pangeran Surya Atmaja itu menutup usianya pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di makam keluarga K.H. Sanusi Gunung Puyuh, Sumedang.

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

STATUS ACHEH DALAM NKRI

Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976

SYARAT UNTUK DI TERIMA MENJADI TEUNTRA DAULAH ISLAMIYAH