FRIEDRICH Nietzsche (1844-1900), filsuf Jerman yang juga dikenal sebagai bapak post-modernisme, memaksudkan kalimat itu sebagai peringatan agar mengonsumsi sejarah secara tepat. Jika masa lalu dikonsumsi secara salah, seperti dijadikan alas politik semata, maka yang muncul adalah penyakit ingatan: suatu penyakit menyebabkan gangguan kesadaran, delusi, bahkan halusinasi. Orang sakit sejarah akan berat menjalani hidup ke depan. Hidup dalam kanker adalah pasrah menunggu jalan kematian (Zeit sum Tode).
Proses legislasi konsep Wali Nanggroe menjadi qanun (perda), telah melahirkan fantasi kesejarahan yang semakin menyesakkan di Aceh. Rancangan qanun yang dipersiapkan DPRD Aceh periode saat ini semakin jauh dari jejak konsep yang otentik. Penyesatan itu bisa berakibat pada gagal fungsi pemerintahan daerah dan komplikasi akut atas struktur-struktur pemerintahan lainnya.
Sejarah Arkhaik
Merujuk pada sejarah, wali nanggroe atau dalam sejarah digunakan istilah lain adalah konsep pemerintahan transisi atau situasi yang bersifat luar biasa, bukan situasi normal. Jika pada raja terakhir Aceh, Sultan Muhammad Daudsyah konsep yang diberlakukan kepada mereka adalah “wakil pemerintahan” kerajaan, yang diangkat sejak pertama sekali mengambil tampuk kekuasaan pada pengujung 1883, hingga takluk pada Belanda, 10 Januari 1903. Pengangkatan “orang-orang kuat” itu adalah citra kerajaan Aceh masih tegak.
Seperti maklum, tatkala Tuanku Muhammad Daudsyah menjadi sultan, usianya masih sangat belia. Ia sama sekali tidak berpengalaman menjalankan pemerintahan di situasi perang. Para deputinya ternyata tidak hanya Tuanku Hasyim Bangtamuda, Teuku Cut Banta, tapi juga T. Panglima Polim IX, Tgk. Chik Di Tiro sebagai Qadhi Malik al-Adl, Teuku Sri Ulama yang tinggal di Patek Aceh Barat, Teuku Mansur dari Meulaboh, Teuku Bentara Cumbok, kepala III Mukim Pidie, Teuku Ben Titue, dll. Bahkan sebagai wakil sultan pesisir barat diangkat Tuanku Mahmud, adik Tuanku Hasyim, yang sejak 1896 berada di Daya, Lambeusoe (T. Ibrahim Alfian, Perang Kolonial Belanda di Aceh, 1997:45).
Jauh tarikh sebelum itu, “perwalian kekuasaan” pun sudah pernah ada, yaitu masa Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1671). Saat itu “the real king” di awal pemerintahannya adalah Panglima Polem Batee Itam, yang menurut sejarawan Aceh dari Unsyiah, M. Adli Abdullah, ditabalkan sebagai T. Panglima Polim I.
Kenapa T. Panglima Polim? Tentu saja karena karut-marut pemimpin perempuan. Pengaruh ulama konservatif sebelumnya, Nuruddin Ar-Raniry menolak perempuan menjadi sultan. Namun sejak seorang ulama reformis, Syekh Abdurrauf As-Singkili atau dikenal dengan Teungku Syiah Kuala (1616-1693) pulang dari Timur Tengah pada 1661, situasi mulai berubah.
Ia menyusun kitab fenomenal, Mir-atut Thulab (Cermin Pencari Ilmu), yang berisi prinsip-prinsip perdagangan dan politik. Salah satunya adalah tentang kebolehan perempuan menjadi pemimpin politik. Ia menganggap bahwa “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan” adalah konteks domestik (rumah tangga), sedangkan dalam pemerintahan publik tidak disalahkan (Oman Faturrahman dalam Seribu Tahun Nusantara, 2000 : 461).
Pengaruh Syekh Abdurrauf meluas di seluruh dunia Melayu hingga Mindanao, Filipina. Ia juga menjadi Qadhi Malik al-Adil untuk masa pemerintahan empat sultanah berturut-turut hingga akhir abad 17. Jabatan itu bukan hanya setara ketua Mahkamah Agung tapi juga wakil sultan Aceh. Ia juga membuat kitab tafsir Alquran pertama yang berbahasa Melayu (Tarjuman Mustafid).
Sejarah Baru
Adapun konsep Wali Nanggroe yang terdapat di dalam MoU Helsinki adalah bentuk historisisme Hasan Tiro, yang tidak musti dicari-cari rasionalisasinya dengan sejarah sebelumnya. Seperti diketahui “zelfbesterunde lanschappen” atau self-government yang dimiliki Aceh bukan seperti Kesultanan Yogyakarta, tapi karena “kasus-kasus khusus” yang berhubungan dengan pemerintahan Indonesia. Dalam hal ini adalah konflik. Sejarah mencatat bahwa berkah istimewa di tahun 50-an dan otonomi khusus pada 2000-an tidak bisa dilepaskan dari nama Tgk. Daud Beureueh dan T. Hasan Tiro.
Konsep Wali Nanggroe memang diperuntukkan untuknya, memberi penghormatan atas peran besarnya bagi perdamaian Aceh. Adapun setelah Tiro meninggal, maka status itu harus diperlakukan secara normal, seperti terdapat dalam pasal 96 dan 97 UU No. 11/2006 yaitu “lembaga adat tertinggi dan bukan lembaga politik dan pemerintahan” (pasal 96 ayat 2).
Sikap mencari-cari pembenaran tanpa referensi yang otentik seperti terbaca dalam rancangan qanun Wali Nanggroe saat ini adalah citra kehendak pada kekuasaan (will to power), berperspektif sempit, dan berjangka pendek. Pencantuman nama Dr. Hasan Tiro sebagai wali kedelapan dan penggantinya adalah Malik Mahmud dalam pasal qanun sudah membuat “hukum bukan untuk semua” dan mereduksi demokrasi menjadi monarki (monoarche) atau pemerintahan sendiri . Belum lagi penyebutan sebagai wali nanggroe kedelapan itu tanpa mampu menunjukkan tujuh wali sebelumnya, hanya menonjolkan permainan legislasi belaka. Sebuah simulacrum, foto kopi tanpa ada aslinya.
Aborsi Legal
Rancangan qanun pada era DPRA periode 2009-2014 ini merupakan aborsi hukum atau akrobasi hukum yang menimbulkan komplikasi implementasi. Sebenarnya rancangan qanun Wali Nanggroe periode 2004-2009 lebih masih masuk akal dibandingkan saat ini. Perlu bedah akademis agar “kecelakan hukum” tidak kembali terulang seperti kasus qanun jinayat beberapa waktu lalu.
Hal yang paling aneh adalah lembaga Wali Nanggroe ini bukan lagi lembaga adat seperti yang termaksud, tapi telah mengambil hampir seluruh elemen kekuasaan penting di bidang seremoni (memberi dan mencabut gelar, memberi sambutan dalam even penting), eksekusi (memajukan produk dan promosi Aceh ke luar negeri, membuat kesepakatan dagang dengan luar negeri), legislasi (veto untuk musyawarah yang belum mufakat), mengambil kewenangan Komisi Independen Pemilihan (menetapkan jadwal Pilkada), kewenangan absolut (menguasai harta Aceh, memberhentikan gubernur, dan membubarkan parlemen), hingga kondisi luar biasa (menyatakan keadaan darurat). Logika hukum yang sedang beroperasi adalah semua elemen pemerintahan Aceh bisa batal di tangan wewenang Wali Nanggroe yang tidak dipilih langsung oleh rakyat ini. Qanun ini sedang berfantasi tentang monarki baru, padahal pengalaman feodalisme itu telah berhenti sejak 1904.
Inilah dilema demokrasi di era transisi, ketika kewenangan yang besar tidak mampu menumbuhkan kewarasan, tanggung jawab, dan sikap rendah hati terhadap rakyat. Kewenangan yang besar dimiliki oleh DPRA saat ini membuatnya bisa berbuat sekehendaknya (Selbst-Regulierung), menabrak logika dan aturan apa saja, bahkan mengabaikan respons negatif yang telah ditunjukkan masyarakat pedalaman dan barat-selatan atas qanun ini.
Ulasan
Catat Ulasan
This Post Mybe Have Same Copy From OtherSite.
Other Link or Backlink we removed by Robotsystem