Manfaat Yoga untuk Kesehatan Fisik dan Mental

Yoga adalah praktik kuno yang berasal dari India yang telah menjadi semakin populer di seluruh dunia. Selain menjadi bentuk olahraga, yoga adalah cara hidup yang mempromosikan kesehatan fisik dan mental. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi manfaat yoga yang luar biasa untuk kesehatan Anda. 1. Meningkatkan Fleksibilitas dan Postur Tubuh Salah satu manfaat paling terkenal dari yoga adalah peningkatan fleksibilitas. Melalui berbagai gerakan dan posisi tubuh (asana), yoga membantu melonggarkan otot dan meningkatkan kisaran gerakan. Ini tidak hanya membuat Anda lebih lentur tetapi juga membantu memperbaiki postur tubuh yang buruk. 2. Meningkatkan Kekuatan Otot Yoga juga melibatkan penggunaan berat tubuh Anda sendiri untuk melatih otot. Dengan berlatih yoga secara teratur, Anda akan memperkuat otot-otot Anda, termasuk otot inti (core), otot punggung, dan kaki. 3. Meningkatkan Keseimbangan dan Koordinasi Gerakan yang dilakukan dalam yoga juga membantu meningkatkan keseimbangan dan koordi

Perlunya Reformasi

LAWRENCE M. Friedman dengan teorinya Legal System mengajarkan, hukum itu harus diperspeksikan sebagai suatu sistem. Artinya, hukum itu bukan anasir tunggal. Melainkan, eksistensinya mesti didukung oleh beberapa unsur yang saling memengaruhi. Unsur dimaksud, menurutnya, adalah: “structure”, “substance”, and “cultur”. Ketiga unsur itu, secara simultan dan sinergis saling komplementer agar suatu hukum secara sistemik teraktualisasikan dalam tataran realita.

Esensinya, hukum itu ada untuk diberlakukan. Maka apabila hukum yang ada tidak berlaku atau tidak dapat diberlakukan, berarti ketentuan tersebut telah berhenti menjadi hukum. Ia telah berupa “slapende regeling”. Karenanya, dalam perspektif “sociological-jurisprudence”, tolak ukur eksistensi hukum tergantung pada efektifitasnya dalam tataran empiris, yaitu “law in action”. Bukan hanya dalam tataran ide ataupun naskah, berupa “law in book”.

Paradigma di atas, tentu berbeda dengan kerangka pemikiran positivistisme dan legisme hukum. Bagi mereka (Austin, Kelsen, dkk), hukum itu eksis karena adanya perintah penguasa. Sehingga, karena hukum bersifat imperative maka pastilah akan implementatif, sekalipun masyarakat menolak mematuhinya dengan alasan bertentangan dengan budaya hukumnya. Dalam hal inilah, maka setiap peraturan perundang-undangan yang telah disahkan diharuskan diundangkan dalam suatu lembaran negara atau lembaran daerah. Sehingga dengan demikian, terhadap peraturan yang telah diundangkan tersebut berlakulah “adagium fictie”, yaitu; suatu asumsi bahwa setiap orang dianggap mengetahui peraturan tersebut, maka karenanya, tidak dibolehkan seorangpun melanggar peraturan (hukum) dengan dalih tidak mengetahui adanya aturan tersebut.

Hukum itu harus murni normatif, kata Kelsen dalam teorinya “the pure theory of law”. Oleh karena itu, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir lain di luarnya; seperti unsur sosiologis, historis, etis, dan bahkan politis. Hukum itu murni normatif, dan melulu perintah penguasa. Karenanya, ia bersifat top-down, bukan bottom-up sehingga tak ada ruang partisipasi publik.

Sekilas dari introduksi paradigmatis di atas, paling tidak, ada dua aliran besar yang berpengaruh dalam memahami keberadaan hukum yang berkaitan dengan aspek budaya hukum, yaitu (1) aliran “positivisme” dan (2) aliran “sociological jurisprudence”. Dengan demikian, jelas bahwa perbincangan tentang budaya hukum merupakan sesuatu yang relevan dalam kajian dan diskusi-diskusi eksistensi hukum.

Savigny dan Erhlich merupakan dua pelopor pemikir hukum dengan aliran yang berbeda. Savigny melahirkan “mazhab historis”, sedangkan Erhlich membentuk aliran “sociological jurisprudence”. Sekalipun berbeda aliran, namun kedua mereka menaruh perhatian yang sama tentang perlunya mempertimbangkan budaya hukum masyarakat, baik dalam pembentukan maupun dalam penerapannya.

Dalam perspektif socio-legal, eksistensi dan fungsionalisasi hukum dipengaruhi berbagai ragam variable yang saling komplementer. Karenanya, keberadaan hukum harus dipandang sebagai suatu sistem (Friedman), yang selalu terdiri dari tiga aspek, yaitu (1) aspek structure, (2) aspek substance, dan (3) aspek cultur.

Komponen struktur berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung teraktualisasinya hukum. Komponen substansi berkaitan dengan norma, ketentuan atau aturan-aturan hukum yang dibuat dan digunakan untuk mengatur perilaku manusia. Sedangkan komponen kultur menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut.

Perlunya Reformasi Sistem Hukum
Hemat saya, reformasi hukum baik di Indonesia maupun di Aceh, penting terus dilakukan secara sistemik dengan mengacu kerangka pikir Friedman. Reformasi hukum ini harus ditangani secara serius, simultan dan sinergis meliputi semua aspek substansial, structural, dan kulturalnya.

Pertama, Pembenahan substansi hukum harus dilakukan mulai dari jenjang rendah hingga hirarkhinya yang tinggi dengan mengikuti pola pikir Kelsen, sehingga dapat mengeliminasi celah-celah ketentuan hukum, yang lazim dijadikan justifikasi guna membenarkan tindakan yang menyimpangi kepatutan. Perseteruan DPRA versus Mendagri yang merupakan implikasi benturan ketentuan dalam UUPA versus UU Susduk, salah satu contoh kecil dari konflik antarhukum akibat celah-celah kabur dalam ketentuan hukum. Karena itu, untuk mengeliminasi hal demikian upaya harmonisasi dan sinkronisasi hukum harus dilakukan secara lebih cermat dalam proses pembentukan hukum peraturan perundang-undangan.

Kedua, Reformasi birokrasi lembaga penegakan hukum, menurut saya, hal yang tak kalah pentingnya juga harus segera diprioritaskan untuk dilakukan. Lembaga penegak hukum, jangan dipahami dalam artian yang sempit yaitu hanya hanya polisi, jaksa, dan lembaga peradilan. Tetapi harus dipahami bahwa semua aparat pemerintahan senyatanya harus menegakkan hukum sebagai alas kewenangan dalam menjalankan fungsinya. Sehingga, pembenahan moral semua aparatur pemerintahan, hal mutlak yang harus segera dilakukan, agar tidak melahirkan “Gayus-Gayus” dan “Cyrus-Cyrus” baru.

Polisi, Jaksa, dan hakim, diakui memang sebagai pilar utama dan ujung tombak penegak keadilan. Karenanya, kalau lembaga-lembaga ini tak mampu memberikan rasa keadilan yang didambakan oleh bahagian terbesar warga bangsa ini. Maka percuma saja kehadiran mereka. Lama kelamaan dan ujung-ujungnya, rakyat kesal, jengkel dan marah terhadap kelambanan lembaga formal tersebut, yang bukan tidak mungkin, rakyat akan membentuk “polisi”, “jaksa”, dan “peradilannya” sendiri.

Selanjutnya, menurut teori sistem hukum, reformasi budaya hukum (cultural) pun harus segera kita mulai. Budaya sogok menyogok harus segera dihilangkan sejak sekarang dan untuk seterusnya. Semoga kita tak mendengar lagi cacian rakyat kepada Polantas hanya karena terpaksa menyogok 100 ribu. Kita tak akan mendengar lagi akan ada anak pejabat yang lulus CPNS/Polri karena nepotisme, atau ada jual beli jabatan dalam pemerintahan.

Budaya masyarakat yang mengasumsikan jabatan struktural dalam birokrasi pemerintah memiliki relevansi signifikan dengan kekayaan dan kemewahan, perlu segera dihilangkan. Karena itu, perlu pula ada deklarasi bahwa, jabatan adalah amanah, dan sumber dari segala sumber amanah adalah Allah. Sehingga menyelewengkan amanah adalah dosa besar yang akan mendapat laknat Allah.

Dari dua reformasi hukum lainnya (reformasi substansi perundang-undangan dan reformasi kelembagaan structural), saya pikir, reformasi kultural adalah yang tersulit untuk dapat diwujudkan secara nyata dalam waktu relatif jangka pendek. Karenanya, diperlukan gerakan massal dan massif dengan dukungan penuh dari seluruh rakyat, beserta komitmen riil dari pemegang kekuasaan pemerintahan untuk bertindak dan berperilaku patuh kepada hukum sebagai budaya “baru” masyarakat kita.

Masalahnya, persoalan budaya sangat bersifat paternalistic, sehingga dibutuhkan keteladanan dari para elit pimpinan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Bagaimana mungkin kita mengharapkan anak berperilaku jujur, jika orang tuanya tak jujur. Bagaimana mungkin warga menghormati pimpinan masyarakatnya, jika yang bersangkutan berada pada posisi tersebut dengan cara tidak halal. Begitu pula, bagaimana mungkin orang happy membayar pajak, jika fasilitas public makin hancur, sementara “rakyat makin tak gayus”. Aneh pula jika penerima suap telah dihukum, sedangkan pemberinya masih enjoy di luar.

Untuk membangun Aceh yang bermartabat dengan sistem hukum yang sesuai dengan kultur kita, hemat saya, sejak sekarang kita harus lebih fokus dan menaruh perhatian yang ekstra keras kepada pendidikan kejujuran ketimbang pendidikan kejuruan.

* Penulis adalah dosen Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

http://www.serambinews.com/news/view/44745/perlunya-reformasi-sistem-hukum

Ulasan

Catatan popular daripada blog ini

Menteri Pendidikan Aceh Merdeka angkatan tahun 1976

Manfaat Yoga untuk Kesehatan Fisik dan Mental

MoU itu hanya perdamaian antara kelompok GAM Malik-Zaini dengan NKRI