Masa Depan Indonesia
SENJA itu Khalifah Ali bin Abi Thalib didera kekhawatiran mendalam. Dia baru saja menerima laporan bahwa gubernurnya di Mesir, Malik Al Asytar, menghadiri jamuan yang hanya dihadiri oleh kalangan pengusaha. Sang khalifah takut kalau nanti pembantunya tersebut bisa terseret untuk berkolusi, tidak bisa berlaku adil dan bertindak tegas dalam memerangi penyelewengan.
Dalam suratnya Ali menulis, ‘’Tegakkanlah keadilan dalam pemerintahan Anda dan dalam diri Anda sendiri. Carilah kepuasan rakyat, karena ketidakpuasan rakyat memandulkan kepuasaan segelintir orang yang berkedudukan istimewa. Sedangkan ketidakpuasan segelintir orang itu hilang dalam kepuasan rakyat banyak. Ingatlah! Segelintir orang yang berkedudukan istimewa itu akan meninggalkan Anda bila Anda dalam kesulitan.’’
Demikianlah berbahayanya perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme bila sudah menggerogoti jiwa para elit dan pejabat publik. Sikap ini mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat. Sampai-sampai Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebut pelakunya sebagai manusia tak bermoral dan tak beretika. Apalagi jika mengingat bahwa para pejabat tersebut dilantik dengan bersumpah atas nama Allah untuk tidak menerima pemberian apapun yang diperkirakan akan merugikan negara dan jabatannya.
Tak heran dalam sejarah, terekam kisah ketika Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang terkenal dengan keadilannya ketika oleh sejumlah pengusaha diberikan iming-iming hadiah, dengan tegas menolaknya. Ketika seorang dari mereka menyatakan bahwa Nabi mau menerima hadiah semacam itu, Umar menjawab, ‘’Tidak disangsikan lagi hadiah itu memang untuk Nabi. Tapi, kalau diberikan kepadaku itu penyuapan dan penyogokan.’’
Korupsi di Indonesia
Begitu idealnya bila kita melihat bagaimana Nabi Muhammad saw dan para khulafaur-rasyidin dalam mengelola “clean governance”. Namun jika kita menilik kondisi bangsa ini tentu saja berbalik seratus delapan puluh derajat. Penelitian Political & Economic Risk Consultancy (PERC) pada kalangan pelaku bisnis menunjukkan hasil yang mengejutkan. Lembaga yang berbasis di Hongkong ini menempatkan Indonesia, salah satu bintang emerging market tahun lalu, sebagai negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis.
Sementara itu, berdasarkan surveri Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2010 masih stagnan di skor 2,8 dan berada di peringkat 110 dari 178 jumlah negara, tidak berubah dibandingkan tahun 2009 lalu. Posisi ini jauh di bawah negeri jiran kita Singapura yang menjadi negara terbersih dengan angka 9,3 dan beberapa negara lain seperti Brunei Darussalam (38), Malaysia (56) dan Thailand (78). (vivanews.com, 25/09/10).
Di samping itu, ada fakta menyedihkan lainnya dari panggung politik republik ini. Tercatat, sejak adanya pemilihan umum kepala daerah secara langsung pada tahun 2005, sedikitnya sudah 150 bupati/walikota dan 17 gubernur masuk bui karena korupsi. Jumlah itu belum termasuk mereka yang sekarang tengah menjalani proses hukum, baik berstatus sebagai saksi maupun tersangka. Belum lagi mereka yang memang belum terendus ulah bejatnya karena masih mencengkeram kendali kekuasaan. Fakta ini sekaligus memperlihatkan bahwa proses demokrasi kita gagal melahirkan pemimpin yang bersih dan berintegritas. Lebih berbahaya lagi jika pameo itu benar: sikap seorang pemimpin mencerminkan watak asli rakyat yang dipimpinnya. Jika seorang kepala daerah berperilaku koruptif, boleh jadi ini merupakan cerminan kultur yang membudaya di kalangan rakyat yang memilihnya. Na’udzubillah min dzalik.
Belum lagi jika kita mencermati berbagai kasus faktual penanganan tindak pidana korupsi yang sepertinya tidak bisa dijerat para penegak yustisi. Institusi penegak hukum terlihat mandul tak berdaya menggelandang para pemakan uang rakyat ke dalam bui. Ibarat jalan tol, negeri ini sudah dibayar para koruptor guna meluapkan syahwatnya menjarah harta negara. Ada anggota DPR bebas bayar tol, lalu kejaksaan, menyusul kepolisian dan bahkan partai politik (penguasa). Maka, para koruptorpun terus berjalan melenggang, menikmati fasilitas mewah di dalam tahanan, sesekali berpelesiran ke ke tempat wisata lalu tinggal menunggu manisnya vonis bebas dari hakim yang terhormat.
Memahami Korupsi
Wabah korupsi di Indonesia yang begitu dahsyat semakin mengafirmasi teori kejahatan negaranya Green and World (2004) bahwa di dalam negara ada potensi kejahatan. Namun, sejatinya “white collar crime” ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, justifikasi (pembenaran) karena hal itu dianggap lumrah dan sudah menjadi tradisi serta kebiasaan di hampir seluruh birokrasi sehingga justru bagi mereka yang tidak ikut-ikutan akan dianggap aneh dan asing.
Kedua, tekanan. Trigger atau pemicunya bisa bermacam-macam tergantung gaya hidup, lingkungan kerja, budaya organisasi serta sistem dan prosedur yang multi-interpretasi. Alasan paling umum di kalangan birokrat adalah “take home pay” yang dibawa pulang dianggap tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Ketiga, kesempatan. Berdasar teori hierarki kebutuhan manusianya Abraham Maslow, kebutuhan manusia itu tidak ada batasnya. Orang tidak cuma membutuhkan hal-hal fisik, tapi juga prestasi, pengakuan dan harga diri yang seringkali diartikan secara sempit sangat terkait dengan kepemilikan harta sebanyak mungkin. Mereka menganggap semakin banyak harta, orang lain akan semakin menghormati kita. Akhirnya amanah pun dianggap sebagai kesempatan (aji mumpung) untuk mencapai kebutuhan tak terbatasa itu.
Kembali ke Ketuhanan
Sudah saatnya para pemimpin bangsa ini bergegas menjawab persoalan korupsi yang kian menggurita. Masa depan republik akan terlihat suram jika para pengambil kebijakan hanya berleha-leha. Bahaya laten korupsi ini harus dibasmi dan dicerabut hingga ke akar-akarnya. Founding father kita telah menggariskan bahwa keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa-lah yang menjadi tumpuan untuk merebut kemerdekaan. Maka, untuk merdeka dari korupsipun kita juga harus kembali pada semangat dan nilai ketuhanan.
Artinya, penegakan hukum harus semakin tegas. Sebab menurut rational choice theory, korupsi akan terjadi jika manfaatnya lebih besar daripada risikonya. Oleh karenanya, untuk menahan laju penyakit ini, risikonya harus ditingkatkan. Syukur, perangkat hukum dan perundang-undangan telah lumayan memadai. Sekarang tinggal bagaimana aparat penegak hukum bisa meneladani ketegasan Ali bin Abi Thalib atau Umar bin Abdul Aziz dalam “law enforcement”. Atau mungkin seperti Cina di mana Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi dan Deputi Walikota Leshan, Li Yushu dihukum mati karena terbukti terlibat kasus suap.
Selain itu, upaya preventif juga wajib dilaksanakan dengan melakukan pembinaan karakter terhadap para pejabat, pegawai pemerintahan, masyarakat dan generasi muda karena kompetensi saja tidak cukup namun dibutuhkan kejujuran dan integritas dalam berkontribusi buat bangsa. Komitmen akan nilai-nilai tersebut jika dievaluasi dan terus-menerus diupgrade insya Allah akan menjadi cikal bakal Indonesia yang bersih dari praktik korupsi.
Ulasan
Catat Ulasan
This Post Mybe Have Same Copy From OtherSite.
Other Link or Backlink we removed by Robotsystem