JANTONG HATEE
“JANTONG Hatee” adalah julukan yang ditabalkan rakyat Aceh kepada dua institusi pendidikan pertama dan ternama di Aceh, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan IAIN Ar-Raniry. Pemberian julukan ini menunjukkan besarnya harapan rakyat Aceh bagi pencerdasan rakyat Aceh yang dalam sejarahnya kaya konflik. Pembangunan dua kampus itu pun tak terlepas dari kompensasi penyelesaian konflik DI/TII (1952-1962). Kompensasi itu diejewantahkan dalam wujud pemberian keistimewaan bagi Aceh dalam tiga aspek; agama, pendidikan, dan adat istiadat.
Melihat kondisi “jantong hatee” yang terus terperosok patut kiranya kita mengenang kembali sejarah dan tujuan awal pembangunan Kampus Darussalam. Ali Hasyimi dan A. Majid Ibrahim, dua putra terbaik Aceh saat itu, menerjemahkan keistimewaan bidang pendidikan dengan merintis pembangunan kampus. Mereka mengundang Presiden Soekarno untuk memberi dukungan dalam proyek monumental pembangunan kampus dan menjadikan Darussalam sebagai Kota Pelajar. Tanggal 2 September 1959, Presiden Soekarno menginjakkan kakinya di Darussalam yang saat itu masih bersemak belukar. Soekarno membuka selubung Tugu Darussalam sebagai titik awal pembangunan “jantong hatee”. Di kaki tugu yang masih berdiri dan menjadi saksi bisu itu tertulis pesan: “Tekat Bulat Melahirkan Perbuatan Nyata, Darussalam Menuju Pelaksanaan Cita-cita”. Selanjutnya tanggal 2 September ditetapkan sebagai hari pendidikan Aceh (wikipedia.com).
Menjadi nakhoda di dua perguruan tinggi itu adalah amanah yang cukup besar dan berat. Ali Hasyimi dan A Majid Ibrahim telah membuktikan bahwa mereka mampu merintis lembaga itu dari titik nol untuk dilanjutkan pengembangannya, bukan dimanfaatkan untuk kepentingan politis dan mengeksplorasi uang untuk kepentingan pribadi. Oleh karenanya, kita patut merasa sedih melihat fenomena civitas akademika di dua kampus itu yang saat ini terlihat lebih mementingkan diri, kelompok dan menjadikannya sebagai kendaraan memperkaya diri.
Fenomena munculnya rektor yang lebih mengejar fatamorgana kekuasaan hingga “menjual diri” melalui spanduk atau rektor yang harus dihadapkan ke pengadilan sebagai saksi dugaan skandal korupsi hanyalah sebagian kecil dari permasalahan yang sempat mengemuka. Ini ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat “membakar” semua isi kampus. Tanda-tanda terbakarnya isi kampus sudah mulai terlihat. Misalnya salah satu “jantong hatee” rakyat Aceh mendapat akreditasi C. Anak-anak Aceh menjadi korban dari skandal-skandal yang diperankan akademisi di kampus “jantong hatee”. Fenomena ini tentunya sangat mengecewakan para pendahulu yang telah bersusah payah merintis pembangunan kampus dari “hutan” Darussalam 41 tahun silam.
Merujuk teori pasang surut pemerintahan Ibnu Khaldun, setelah mengalami masa pendirian dan pembinaan di masa Ali Hasyimi dan A Majid Ibrahim, kampus “jantong hatee” sempat mengukir prestasi di era Ibrahim Hasan, Dayan Dawood, dan Safwan Idris. Indikatornya adalah keluaran dua perguruan tinggi itu yang berkualitas dan siap pakai. Tidak ada keluhan susah mencari kerja atau sarjana penganggur pada periode yang serba terbatas itu.
Tapi saat ini, kondisi “jantong hatee” bagai berada dalam ratapan. Intrik-intrik politik, primordialisme, dan indikasi memperkaya diri melalui kekuasaan tampak mulai merambah “jantong hatee”. “Jantong hatee” semakin jauh dengan badan (masyarakat) dapat dilihatkan dengan pemagaran beton lingkungan kampus, bahkan kemungkinan tertutupnya akses masyarakat sekitarnya dengan “jantong hatee” rakyat Aceh, belum lagi sejumlah bangunan fisik 1 tahun setelah dibangun bocor dan rusak seperti Gelanggang A.Majid Ibrahim dan stadion yang belum fungsional dan lain-lain. Suatu pemandangan yang sangat memilukan bagi pendiri kampus, karena sejak puluhan tahun mereka dengan bersusah payah rela menetap di “hutan” Darussalam dan dalam kegelapan berupaya membangun Aceh. Bahkan ada yang rela meninggalkan kampung halaman di tanah Pasundan dan menjadikan Aceh sebagai tanah airnya sebagaimana diperankan oleh Prof Dr Utju Ali Basya.
Kalau kita menelusuri kembali sejarah Aceh tempo dulu, maka akan ditemukan bahwa Aceh masa lampau merupakan pusat ilmu peradaban, agama dan pendidikan. Dalam sejarahnya, pembanguan Aceh dilakukan secara bersama-sama bahkan dengan melibatkan orang asing, untuk satu tujuan yaitu berjayanya negeri Aceh. Maka, dari tanah Aceh ini lahir sejumlah tokoh dan ilmuwan seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf As-Singkili, Nuruddin Ar-Raniry, As-Sumatrani, Tgk. Chik Pante Kulu dan lainnya. Karya besar mereka dikenal di seluruh Nusantara dan menjadi tonggak sejarah Melayu. Ini juga menjadi bukti nyata bahwa Aceh berwajah kosmopolit. Peran warga non Aceh sungguh tak terbantahkan, baik dalam aspek pengembangan ilmu maupun dalam pemerintahan. Dengan bekal kosmopolitan ini, Aceh berhasil meraih kejayaan.
Dari darul harb ke darussalam
Kopelma Darussalam sejak awal didirikan ingin mengubah suasana dari “darul harb” (negeri perang) menuju “darussalam” (negeri aman, tentram, damai). Darussalam menjadi tempat menempa generasi muda Aceh menjadi intektual dan pemimpin yang beriman serta berperilaku mulia dalam rangka menyongsong Aceh yang lebih baik. Kopelma Darussalam sejak didirikan mengemban amanah Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu selain melaksanakan pendidikan/pengajaran juga melakukan penelitian dan pengabdian kemasyarakatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Futurologist Alvin Tofler, penelitian dan pengembangan adalah aset utama kemajuan bangsa. Maka, insan kampus harus memfokuskan diri pada tiga aspek ini yang hukumnya wajib, tidak memanfaatkan kampus untuk mengejar kepentingan pribadi yang hanya sesaat.
Pada periode kejayaannya, “jantong hatee” Aceh telah berhasil menelurkan alumni terbaik untuk menyumbang pikiran memajukan bangsa. Lahirnya Bappeda, BPD dan MUI yang kemudian diadopsi secara nasional tidak terlepas dari peran insan Kampus Darussalam. Dari kampus, mereka mampu memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa. Tapi kini, pemandangan itu tak lagi terlihat sehingga Kampus Darussalam berada dalam ratapan. Meski demikian, ratapan ini masih berpeluang untuk diubah menjadi senyuman dengan melakukan pembenahan besar-besaran sehingga semua civitas akademika tidak lagi berkutat pada kepentingan sesaat yang dapat merugikan Aceh.
Masa kemunduran yang sedang dialami saat ini masih berpeluang untuk diperbaiki. Jika perlu, sebagaimana pernah dicontohkan para “endatu” (nenek moyang) masa lampau, Aceh bisa saja mengimpor nakhoda dari luar untuk jangka waktu tertentu sampai kondisi kampus betul-betul steril dari kepentingan pribadi/kelompok dan pada saat kondisi kampus telah stabil kemudinya dapat diambilalih kembali. Nah, dalam hal ini, keikhlasan dalam melihat kepentingan yang lebih besar menjadi modal utama. Semoga kita dapat melihat persoalan ini dengan jernih sehingga “jantong hatee” tidak berada dalam ratapan yang berkepanjangan.
Ulasan
Catat Ulasan
This Post Mybe Have Same Copy From OtherSite.
Other Link or Backlink we removed by Robotsystem